Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja mengkritik wacana Presiden Prabowo Subianto untuk mengubah desain Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak lagi dipilih secara langsung oleh masyarakat daerah, melainkan akan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing. PSHK FH UII mengingatkan Prabowo agar tetap patuh mandat konstitusi.
"Secara yuridis, wacana Pilkada melalui DPRD, setidaknya menafikan 2 mandat konstitusional yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 55/2019," kata Peneliti PSHK FH UII, M Addi Fauzani, dalam keterangan tertulis yang diterima detikJogja, Senin (16/12/2024).
Addi menjelaskan, dalam mandat Konstitusi tidak lagi membedakan rezim asas dan prosedur pelaksanaan Pilkada dan Pemilihan Umum (Pemilu). Hal tersebut berarti bahwa asas Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luberjurdil) sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD RI 1945, juga harus diterapkan di dalam asas dan prosedur pelaksanaan Pilkada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mandat Konstitusi untuk Pembentuk Undang-Undang tidak acap-kali mengubah model Pemiliu atau Pilkada yang diselenggarakan secara langsung dan serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaannya," ujarnya.
Baca juga: Pro Kontra Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD |
Secara filosofis, wacana Pilkada langsung diubah menjadi lewat DPRD telah benar-benar mengukuhkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Dia juga bilang secara sosiologis, wacana Pilkada melalui DPRD yang didasarkan pada alasan efisiensi prosedur maupun anggaran merupakan alasan yang sangat lemah.
"Hal ini mengingat baik Pilkada secara langsung maupun lewat DPRD sama-sama rentan akan money politic. Narasi akan mahalnya Pilkada langsung justru terkesan menyalahkan rakyat. Padahal biaya mahal lahir karena politisi menggunakan cara-cara instan dengan uang untuk mendulang suara," ujarnya.
Secara historis, usulan Pilkada oleh DPRD telah berulang kali dicoba disahkan oleh elite tetapi buntu. Terakhir dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Hal ini memperlihatkan bahwa upaya-upaya pembajakan demokrasi dan kedaulatan rakyat oleh elite akan selalu berakhir dengan kegagalan," ujarnya.
Terhadap beberapa catatan di atas, PSHK FH UII kemudian memberikan rekomendasi kepada Presiden Prabowo Subianto.
"Pertama, kepada pembentuk Undang-Undang yakni Presiden Prabowo dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk tetap patuh pada mandat konstitusional bahwa Pilkada dilakukan berdasar asas Luberjurdil dan tidak mengganggu kepastian serta kemapanan prosedur," ujarnya.
Kedua, dia meminta parpol agar tidak menyetujui Pilkada melalui DPRD. Terakhir, dia meminta masyarakat agar ikut mengawal dan mengawasi pembentukan UU agar tetap komitmen terhadap kedaulatan rakyat.
"Kepada parpol untuk tidak mendukung wacana Pilkada melalui DPRD karena akan mengukuhkan kemunduran demokrasi dan menjadikan parpol sebagai pembajak demokrasi," pungkas dia.
(rih/dil)
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan