Saran Akademisi UGM soal Penjualan Miras di DIY: Legalkan, Tapi Terpusat

Saran Akademisi UGM soal Penjualan Miras di DIY: Legalkan, Tapi Terpusat

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Kamis, 07 Nov 2024 19:01 WIB
Sejumlah santri mengikuti aksi damai di halaman Polda DIY, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (29/10/2024). Dalam solidaritas tersebut ribuan santri mengecam atas insiden penusukan santri serta mendesak pihak kepolisan untuk mengusut tuntas kasus tersebut dan menutup penjual minuman keras tanpa izin. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/YU
Ribuan Santri Jogja Serukan Aksi Solidaritas Anti Miras di Polda DIY, Selasa (29/10/2024). Foto: ANTARA FOTO/HENDRA NURDIYANSYAH
Sleman -

Persoalan peredaran minuman beralkohol di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belakangan menjadi sorotan publik. Terlebih setelah adanya penusukan terhadap santri di Prawirotaman, Kota Jogja beberapa waktu lalu.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, juga telah ambil sikap melalui Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 5 Tahun 2024. Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto, M.Si., mengatakan instruksi gubernur yang segera dirilis setelah kejadian penusukan tersebut dinilai cukup responsif.

Meskipun, dia menilai seharusnya pemerintah sejak awal sudah bisa mengantisipasi langkah pengendalian penyebaran miras.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sudah bagus, walaupun penanganannya bisa dibilang terlambat. Sejauh ini belum ada badan khusus yang ditugaskan mengawasi jual-beli miras. Instruksi tersebut hanya mengatur sektor formal saja," ucap Derajad dalam keterangan tertulis yang diterima detikJogja, Kamis (7/11/2024).

Selama ini, industri miras selalu bergerak secara underground dan tidak bisa dikendalikan pemerintah.

ADVERTISEMENT

"Kalau dilihat masalah miras ini tidak hanya dari jual-belinya saja, tapi sebagian besar penduduk Jogja kan bukan penduduk asli. Barang bebas masuk dari mana saja," jelas Derajad.

Menurutnya sektor informal yang berperan besar menggerakkan industri miras ini. Ia menggambarkan fenomena gunung es sebagai representasi, di mana industri miras yang dapat terlihat hanya di permukaan saja. Sedangkan aktivitas jual beli miras lainnya tidak terkendali.

"Ia memang underground economy, jadi sulit pengawasannya. Selain peredarannya, produknya itu sendiri juga perlu diawasi. Mungkin produk yang resmi beredar bisa terdata, tapi bagaimana dengan produk oplosan, misalnya?," katanya.

Ia menambahkan, untuk menangani masalah tersebut pemerintah perlu mengetahui dulu industri miras yang selama ini berjalan. Ia kemudian memberi saran agar penjualan miras bisa diatur agar lebih terpusat.

"Sarannya saya kira justru legalkan, tapi penjualannya terpusat. Kalau begitu nanti kita bisa tahu siapa penjualnya, siapa yang beli, perputaran uangnya ke mana. Itu jelas," ucapnya.

Lebih lanjut, dia menilai instruksi tersebut belum mengatur pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi miras secara khusus. Hal ini menyebabkan regulasi yang berlaku justru sulit diimplementasikan. Menurut Derajad, fungsi pengawasan harus dilakukan oleh berbagai pihak.

"Perlu diawasi dari segi produknya juga. Kalau kita bicara anggur (atau miras) itu kan bermacam-macam kadar alkoholnya. Banyak pakar dan elemen perhotelan itu saya kira lebih tahu. Mereka juga perlu dilibatkan," pungkas Derajad.




(afn/apl)

Hide Ads