Negara Mayoritas Muslim Ini Larang Hijab, Pelanggar Bakal Kena Denda

Internasional

Negara Mayoritas Muslim Ini Larang Hijab, Pelanggar Bakal Kena Denda

Tim detikNews - detikJogja
Selasa, 25 Jun 2024 14:32 WIB
Arab woman with veil against orange yellow sky
Ilustrasi wanita berhijab (Foto: Getty Images/iStockphoto/vanbeets)
Jogja -

Negara mayoritas muslim di Asia Tengah, Tajikistan, baru saja mengumumkan aturan yang melarang pemakaian hijab. Bahkan, para pelanggarnya bakal dikenai denda. Apa alasannya?

Dilansir detikNews yang mengutip Euronews, Selasa (25/6/2024), pemerintah Tajikistan baru saja mengesahkan undang-undang yang melarang hijab di negaranya akhir pekan lalu. Negara ini mulanya bekas Uni Soviet di Asia Tengah.

Undang-udang pelarangan hijab ini telah disetujui majelis tinggi parlemen Tajikistan atau Majilisi Milli, Kamis (20/6) lalu. Pengesahan undang-undang ini pun dinilai mengejutkan karena sensus terakhir tahun 2020 lalu, negara berpenduduk 10 juta jiwa ini memiliki 96 persen penduduk beragama Islam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara rinci, undang-undang itu melarang penggunaan 'pakaian asing' yang termasuk hijab atau jilbab atau penutup kepala yang dikenakan perempuan muslim. Sebaliknya, warga Tajikistan disarankan menggunakan pakaian nasional negara itu.

Dalam undang-udang itu juga mengatur adanya sanksi denda kepada para pelanggar. Misalnya warga negara biasa bisa didenda 7.920 Somoni Tajikistan (Rp 12 juta), pejabat pemerintah didenda 54.000 Somoni Tajikistan (Rp 82,6 juta), dan tokoh agama sebesar 57.600 Somoni Tajikistan (Rp 88 juta).

ADVERTISEMENT

Alasan Pelarangan Hijab

Undang-undang pelarangan hijab ini termasuk dari serangkaian 35 tindakan terkait agama yang dilakukan pemerintah Tajikistan. Dalam penjelasannya, pemerintah Tajikistan menyebut aturan ini sebagai upaya "melindungi nilai-nilai budaya nasional" dan "mencegah takhayul dan ekstremisme".

Undang-undang serupa yang telah disahkan awal bulan ini, sudah berdampak pada sejumlah praktik keagamaan. Misalnya tradisi berabad-abad di Tajikistan yang dikenal sebagai "iydgardak" di mana anak-anak mendatangi rumah-rumah untuk mengumpulkan uang saku pada Hari Raya Idul Fitri.

Menurut Euronews.com, larangan hijab di Tajikistan dan undang-undang yang berdampak pada praktik keagamaan ini merupakan cerminan dari garis politik yang diupayakan oleh pemerintahan presiden seumur hidup, Emomali Rahmon, sejak 1997 silam.

Tekad Presiden Tajikistan Berantas Ekstremisme

Presiden Rahmon yang berkuasa sejak 1994 sudah lama memerangi ekstremisme di Tajikistan. Setelah perjanjian damai untuk mengakhiri perang sipil selama lima tahun pada 1997 silam, presiden Rahmon pertama kali menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan oposisi, partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP) yang mendapatkan serangkaian konsesi.

Dari hasil perjanjian yang dimediasi PBB, perwakilan TIRP yang pro-syariat Islam akan berbagi 30 persen pemerintahan, dan TIRP diakui sebagai partai politik pasca-Soviet yang berdasarkan nilai-nilai Islam.

Namun, Presiden Rahmon sukses menyingkirkan TIRP dari kekuasaan, meski partai itu seiring berjalannya waktu menjadi lebih sekuler. Pada 2015, Presiden Rahmon membubarkan TIRP setelah menyebutnya sebagai organisasi teroris karena diduga terlibat dalam upaya kudeta yang gagal.

Dalam situasi itu, Presiden Rahmon mengarahkan fokus pemerintahannya terhadap apa yang disebutnya sebagai pengaruh "ekstremis" di tengah masyarakat.

Setelah memberlakukan larangan hijab untuk lembaga publik, termasuk universitas dan gedung pemerintahan, pada tahun 2009, rezim Presiden Rahmon mendorong sejumlah aturan formal dan informal yang bertujuan mencegah negara-negara tetangga memberikan pengaruh tapi juga memperkuat kekuasaan.

Meskipun tidak ada aturan hukum soal jenggot di Tajikistan, sejumlah laporan menyebut penegak hukum mencukur paksa pria-pria yang berjenggot lebat. Sebab, jenggot panjang itu dipandang sebagai tanda potensial untuk pandangan keagamaan yang ekstremis.

Undang-undang Tanggung Jawab Orang Tua, yang diberlakukan sejak tahun 2011, mengatur hukuman untuk para orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka ke pendidikan keagamaan di luar negeri.

Undang-undang yang sama juga melarang anak-anak di bawah 18 tahun untuk memasuki tempat ibadah tanpa izin.

Sementara itu, laporan tahun 2017 yang dirilis Komisi Urusan Agama Tajikistan menyebut 1.938 masjid ditutup dalam waktu setahun dan tempat-tempat ibadah dialihfungsikan menjadi kedai teh dan pusat medis.

Rentetan undang-undang terbaru ini dinilai dipicu oleh serangan mematikan di Balai Kota Crocus di Moskow, Rusia, pada April lalu. Empat pelaku penyerangan yang ditangkap oleh otoritas Rusia disebut memiliki paspor Tajikistan dan dituduh sebagai anggota ISIS-Khorasan.

Presiden Rahmon dalam pernyataannya menegaskan dirinya ingin menjadikan Tajikistan sebagai negara yang "demokratis, berdaulat, berdasarkan hukum dan sekuler". Dia bahkan mengutip kalimat pembuka dalam Konstitusi Tajikistan tahun 2016 yang menganjurkan masyarakat untuk "mencintai Tuhan dengan hati".

Simak juga Video 'Tiga Ciri Jati Diri Muslim':

[Gambas:Video 20detik]

(ams/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads