Jogja Terasa Sumuk Siang-Malam, Begini Penjelasan Stasiun Meteorologi

Jogja Terasa Sumuk Siang-Malam, Begini Penjelasan Stasiun Meteorologi

Jalu Rahman Dewantara - detikJogja
Kamis, 02 Mei 2024 15:04 WIB
Ilustrasi matahari panas terik
Foto ilustrasi matahari panas terik: Getty Images/iStockphoto/krungchingpixs
Kulon Progo -

Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belakangan ini merasakan sumuk atau gerah akibat hawa panas dari siang hingga malam hari. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena ini merupakan efek dari perubahan musim penghujan ke kemarau.

"Iya, ada mulai beralih ke musim kemarau ini," ucap Kepala Stasiun Meteorologi Yogyakarta, Warjono, saat dimintai konfirmasi detikJogja, Kamis (2/5/2024).

Warjono menerangkan berdasarkan data yang dihimpun pihaknya, perubahan musim ini membuat rata-rata suhu minimum di DIY berkisar 24-26 Β°C. Sedangkan suhu maksimum di DIY mencapai 30-34 Β°C. Walhasil, hawa udara terasa lebih panas daripada biasanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Warjono, hawa panas saat siang disebabkan karena minimnya tutupan awan. Sebaliknya, panas malam hari akibat dari kemunculan awan yang cukup banyak.

"Mengapa suhu udara terasa panas, karena pada siang hari tutupan awan sedikit dan pada malam hari terasa panas karena di DIY umumnya berawan, sehingga radiasi yang dipancarkan bumi pada malam hari terhalang oleh awan, sehingga (panasnya) dipantulkan kembali ke bumi," terangnya.

ADVERTISEMENT

Sementara itu Kepala Stasiun Klimatologi (Staklim) BMKG DIY, Reni Kraningtyas menyebut musim kemarau akan mulai melanda wilayah DIY pada awal Mei ini. Diprediksi musim kemarau kali ini bersifat basah karena ada potensi kemunculan La Nina.

"Iya untuk musim kemarau di DIY diperkirakan terjadi pada Mei dasarian satu, ada juga yang mulai Mei dasarian tiga. Indikasinya (kemarau) basah karena kemungkinan besar terjadi La Nina. Tapi itu akan terdeteksi lebih jelas di kuartal ke tiga, kalau sekarang prediksi kami masih normal," ungkap Reni belum lama ini.

Sebagai informasi, La Nina merupakan kondisi iklim ketika suhu muka laut mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya. Hal ini mengurangi potensi pertumbuhan awan sehingga meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.

Reni mengatakan fenomena La Nina diperkirakan melanda wilayah DIY pada Agustus hingga akhir 2024 atau memasuki puncak musim kemarau. Kemunculannya ditandai dengan hujan intensitas rendah hingga sedang, sehingga biasa disebut kemarau basah.

"Prediksi La Nina belum ada untuk Mei, Juni, Juli. Tapi setelah Juli dan Agustus ke atas kemungkinan besar ada tanda-tanda La Nina. Tapi akan terus kita update apakah benar nanti ada la Nina atau tidak. Yang jelas musim kemarau saat ini berbeda dari tahun sebelumnya," ucapnya.

Reni mengatakan fenomena La Nina yang memicu kemarau basah sejatinya jadi berkah tersendiri bagi masyarakat khususnya para petani. Sebab, suplai air untuk keperluan pertanian masih tetap terjaga karena tetap ada hujan.

Kendati begitu, Reni mengimbau petani untuk melakukan upaya mitigasi karena tetap ada potensi kekeringan. Salah satu caranya dengan mengganti jenis tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi kering, seperti misalnya jenis palawija.

"Dari kami memang diimbau kepada para petani untuk menanam tanaman palawija, bukan padi karena memang sumber airnya sudah turun beda dengan kawasan pertanian yang ada aliran irigasi rutin. Jadi tetap waspada terhadap musim kemarau terutama puncak kemarau itu, kemungkinan besar bisa ada kekurangan air bersih meski pada musim kemarau ini tetap ada hujan sedikit-sedikit," ujarnya.




(dil/ams)

Hide Ads