Eks Bos PSS Sleman Dilaporkan ke Polda DIY soal Dugaan Penggelapan Investasi

Eks Bos PSS Sleman Dilaporkan ke Polda DIY soal Dugaan Penggelapan Investasi

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Selasa, 09 Jan 2024 15:00 WIB
Ilustrasi Penipuan
Ilustrasi kasus dugaan penggelapan (Foto: Ilustrasi by Mindra Purnomo)
Sleman -

Dirut PT GMS yang juga eks bos PSS Sleman berinisial SKN dilaporkan ke Polda DIY. Hal ini terkait dugaan kasus penggelapan investasi.

Dirreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi saat dimintai konfirmasi membenarkan adanya pelaporan terhadap SKN yang pernah menjadi bos klub sepakbola PSS Sleman tersebut.

"Benar ada yang melaporkan tentang peristiwa dugaan TP (tindak pidana) penggelapan. Kami dari Direktorat sudah menerima laporannya dan melakukan proses penyelidikan terhadap laporan tersebut," kata Endri saat dihubungi wartawan, Selasa (9/1/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya saat ini penyidik tengah berproses menangani kasus tersebut. Polisi tengah mengumpulkan keterangan dan bukti.

"Kasus yang dimaksud sudah dalam proses pemeriksaan penyidik. Antara lain dalam tahapan pengumpulan keterangan-keterangan dan bukti-bukti," bebernya.

ADVERTISEMENT

Adapun SKN telah diundang oleh penyidik untuk dilakukan klarifikasi pada Senin (8/1) kemarin. Hanya saja yang bersangkutan tidak hadir.

"Bukan panggilan, tapi undangan klarifikasi. Karena saat ini masih tahap penyelidikan," bebernya.

Dirreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi saat konferensi pers kasus mutilasi mahasiswa Jogja, Minggu (16/7/2023).Dirreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi, Minggu (16/7/2023). Foto: Jauh Hari Wawan S/detikJogja

Terkait status SKN dalam kasus tersebut, Endriadi belum bisa menentukannya. Mengingat semua itu harus melalui proses penyelidikan.

"Dalam hal undangan klarifikasi tidak mencantumkan status, hanya undangan kepada yang bersangkutan," ujarnya.

Awal Mula Kasus

Terpisah, penasihat hukum para pemegang saham PT GMS yang menjadi korban dugaan penipuan, Julius Rutumalessy menjelaskan, awalnya PT Garuda Mitra Sejati (GMS) menawarkan penambahan saham kepada para pemegang saham pada tahun 2018. Saat itu, para pemegang saham ditawarkan 49 lembar saham dengan harga per lembar Rp 1,160 miliar.

"SKN selaku Direktur Utama ikut serta dengan mengambil 24 lembar. Pembayarannya berdasarkan RUPS (rapat umum pemegang saham) pada waktu itu disepakati secara tunai," kata Julius dalam keterangannya kepada wartawan.

Namun, lanjutnya, dalam praktiknya ternyata SKN tidak membayar saham sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Bahkan, dari puluhan cek hanya satu yang bisa dicairkan oleh PT GMS.

"SKN ini membayar dengan menerbitkan 24 lembar cek atau bilyet giro yang masing-masing cek bernilai Rp 1,160 miliar," ujarnya.

"Kemudian dalam prosesnya ternyata cek ini tidak bisa dicairkan, sampai jatuh tempo di bulan Mei 2018 hanya satu lembar cek yang bisa dicairkan7," lanjut Julius.

Hal tersebut, kemudian terus berlarut-larut sampai akhirnya 10 bulan kemudian, tepatnya di bulan Maret 2019. Ternyata pihak direksi PT GMS melakukan sebuah tindakan yang tidak terlebih dahulu dikomunikasikan dengan para pemegang sahamnya.

"Tapi secara sepihak mengambil tindakan-tindakan yang menguntungkan saudara SKN yang saat itu menjabat Direktur Utama," ucapnya.

Selain itu, Julius menilai proses tukar guling yang dilakukan SKN secara hukum bermasalah.

"Proses tukar guling ini sendiri pun secara hukum bermasalah karena dilakukan di bawah tangan, tidak ada akta notariilnya, kenapa? Karena aset yang mau ditukargulingkan hingga saat ini masih dijaminkan di Bank Bukopin oleh SKN untuk keperluan perusahaannya yang lain," ujarnya.

Karena tidak di akta notariil-kan, Julius menyebut proses penyertaan modalnya menjadi bermasalah. Pasalnya secara normal dalam praktik hukum, ketika seseorang menyertakan modal berupa aset maka harus ada akta inbreng untuk memasukkan aset itu menjadi aset perusahaan.

"Kerugian yang timbul antara lain, pertama karena tidak jadi pembayaran tunai, PT GMS tidak jadi mendapatkan tambahan modal dari 24 saham yang diambil SKN, atau sekitar Rp 26 miliar," imbuh Julius.

Sementara itu, pihak SKN hingga berita ini ditulis masih belum bisa dihubungi untuk konfirmasi terkait kasus tersebut.




(apl/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads