Pengajuan Nikah Dini di Kulon Progo Melonjak, 66 Persen gegara Hamil Duluan

Pengajuan Nikah Dini di Kulon Progo Melonjak, 66 Persen gegara Hamil Duluan

Jalu Rahman Dewantara - detikJogja
Selasa, 28 Nov 2023 14:56 WIB
Kondisi kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPMD Dalduk dan KB) Kulon Progo, Selasa (28/11).
Foto: Ilustrasi pernikahan dini yang kasusnya melonjak di Kulon Progo (Jalu Rahman Dewantara/detikJogja)
Kulon Progo -

Sedikitnya 64 pasangan berusia di bawah 19 tahun telah mengajukan permohonan nikah dini atau dispensasi nikah ke Pengadilan Agama (PA) Wates, Kabupaten Kulon Progo tahun ini. Jumlah ini melonjak dibandingkan tahun sebelumnya.

"Kalau 2022 kan 54 perkara. Kemudian pada tahun ini yang terhitung sejak Januari sampai 22 November kemarin sudah ada 64 perkara. Jika dipersentase maka kenaikannya berkisar 8,4 persen," ungkap Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama (PA) Wates, Agus Wantoro saat dihubungi detikJogja, Selasa (28/11).

Agus mengatakan, jumlah pemohon nikah dini tahun ini didominasi oleh pasangan yang sudah mengalami kehamilan di luar nikah. Persentasenya, sebesar 66 persen dari total jumlah perkara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nah kalau kemarin data terakhir kami cek di penyebabnya itu sekitar 66 persen karena sudah hamil. Jadi memang 66 persen kita hitung itu sudah hamil duluan," ujarnya.

Sementara 34 persen lainnya, kata Agus karena sudah ada niatan dari pemohon untuk nikah muda. Salah satu alasannya, untuk menghindari perzinahan.

ADVERTISEMENT

"Yang 34 persen karena memang sudah kenal lama terus sudah dekat, lalu khawatir kalau ada perzinahan atau hubungan tidak diinginkan," ucapnya.

Adapun 64 perkara dispensasi nikah diajukan oleh pasangan dari 11 kapanewon. Terbanyak dari Kapanewon Sentolo, berjumlah 12 pasangan, disusul Panjatan dan Wates masing-masing 10 pasangan, lalu Girimulyo 7 dan Pengasih 5 pasangan.

Selanjutnya Kokap, Kalibawang, Galur dan Lendah masing-masing 4 pasangan. Terakhir ada Samigaluh dan Nanggulan masing-masing 2 pasangan.

"Rata-rata pemohon berusia 17-18 tahun. Ada juga yang masih 14 tahun. Jadi mayoritas masih SMP-SMA," terang Agus.

Agus mengatakan dari 64 perkara itu, dua di antaranya tidak dikabulkan PA Wates. Alasannya karena pemohon masih berusia 14 tahun sehingga belum siap secara psikologis, merujuk hasil konseling dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

"Alasan ditolak karena memang secara psikologis belum siap untuk melaksanakan pernikahan sesuai hasil konseling dari P2TP2A. Faktor usia juga berpengaruh, kemarin itu masih berusia 14 tahun untuk yang putri, jadi secara psikologis belum siap dan dari persidangan ketika ditanya hakim juga dalam menjawabnya bisa dilihat seperti apa kesiapannya," jelasnya.

Sedangkan 62 pasangan lain, lanjut Agus, dikabulkan karena dinilai sudah siap secara psikologis dan materi.

"Pertama karena kita melihat yang bersangkutan sudah siap, di mana calon mempelai laki-laki sudah berpenghasilan. Jadi ekonomi calon manten ini berpengaruh, misal sudah kerja, dapat penghasilan sekian itu jadi pertimbangan," ujarnya.

"Faktor lain ya ada yang ingin segera nikah karena mau diajak pergi ke luar daerah. Misal yang laki mau kerja di Kalimantan, terus mau ngajak calonnya tapi belum cukup umur jadi mengajukan dispensasi," imbuh Agus.

Terlepas dari hal itu, Agus menyatakan PA Wates terus mendorong agar pemohon nikah dini bisa tetap melanjutkan studi pasca pernikahan. Pihaknya tidak ingin pemohon putus sekolah gegara berumah tangga.

"Kalau dari kami terus mendorong bagi pasangan yang mengajukan disepensasi nikah agar tetap melanjutkan pendidikan, bisa secara formal atau kejar paket. Karena ya kasian, kebanyakan dari mereka kan masih usia SMP dan SMA, sedangkan kita ada wajib belajar 12 tahun," ujarnya.

Efek Pergaulan Bebas

Sementara itu merujuk data Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPMD Dalduk dan KB) Kulon Progo, jumlah pernikahan dini di wilayah ini sebenarnya cenderung menurun sejak 2020 silam.

Pada 2020 total pernikahan dini yang dilaporkan mencapai 96 kasus. Kemudian turun jadi 65 pada 2021 dan 41 pada 2022.

"Sedangkan untuk 2023, data sementara per Maret kemarin ada 25 kasus. Sehingga ada tren penurunan sejak 2020 lalu," ungkap Kepala Bidang, DPMD Dalduk dan KB Kulon Progo, Mardiya.

Mardiya menyebut salah satu alasan kenapa pernikahan dini masih ditemukan di Kulon Progo karena maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja. Hal ini juga tidak lepas dari makin mudahnya para remaja mengakses internet.

"Karena faktor pergaulan bebas ya. Di zaman seperti sekarang ini kan teknologi informasi berkembang dengan pesat, membuat apapun mudah diakses termasuk hal-hal porno. Hal itu membuat kalangan remaja terpengaruh sehingga coba-coba kaya gitu," ucapnya.

Faktor lainnya karena masih ada kepercayaan di masyarakat bahwa pada batas usia tertentu, maka si anak harus segera dinikahkan. Ini juga jadi penanda akhir dari tanggung jawab orang tua dalam menghidupi anaknya.

"Kalau dari sisi orang tua memang ada yang menganggap bahwa kalau anaknya dinikahkan maka tanggung jawabnya selesai itu ada di tempat tertentu. Seperti misalnya di Sentolo, tapi tetap faktor ini tidak lebih banyak dibandingkan efek pergaulan bebas," jelasnya.

Risiko yang dihadapi pasangan yang mengajukan pernikahan dini bisa dibaca di halaman selanjutnya.

Pernikahan Dini Berisiko bagi Perempuan

Mardiya mengaku prihatin dengan masih adanya pernikahan dini di Kulon Progo. Pasalnya, pernikahan dini bisa berakibat buruk bagi pelakunya, dalam hal ini untuk kalangan perempuan.

Dia menjelaskan bahwa perempuan yang belum dewasa belum sepatutnya melakoni pernikahan dini karena bisa berdampak negatif bagi kesehatan. Mulai dari kesakitan saat berhubungan seksual, risiko kematian sewaktu melahirkan, hingga potensi melahirkan bayi stunting.

"Sewaktu melahirkan, karena tulang panggulnya belum terbentuk sempurna bakal kesulitan sehingga sangat berisiko. Belum lagi jika bayi dalam kandungan tidak mendapat nutrisi yang baik, maka saat melahirkan berpotensi stunting," ujarnya.

Mardiya mengatakan sebagai antisipasi maraknya pernikahan dini, pihaknya telah membentuk Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja. Ini adalah program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja (PKBR) yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja guna memberikan pelayanan informasi dan konseling tentang Perencanaan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja serta kegiatan-kegiatan penunjang lainnya.

Saat ini sudah ada lebih dari 60 PIK R yang tersebar di sekolah dan desa-desa di Kulon Progo. "Antisipasinya, lewat PIK Remaja ini. Di mana sudah ada lebih dari 60 PIK R di sekolah tingkat SMP, SMA dan desa-desa Keluarga Berencana (KB) di Kulon Progo," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(apu/aku)

Hide Ads