Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gunungkidul menggandeng Fakultas Kehutanan UGM untuk melakukan kajian tentang monyet ekor panjang. Penelitian itu dibiayai menggunakan Dana Keistimewaan (Danais). Anggarannya Rp 364 juta.
"Melalui Dana Keistimewaan kami difasilitasi melakukan penelitian atau kajian habitat karakteristik MEP (monyet ekor panjang) bersama Fakultas Kehutanan UGM," kata Kepala DLH Gunungkidul, Harry Suknomo saat ditemui detikJogja di kantornya, Kamis (26/10/2023).
Harry mengatakan, gangguan monyet ekor panjang terjadi merata hampir di seluruh wilayah Gunungkidul. Di Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, gangguan monyet itu disebut mengakibatkan lahan pertanian jadi tidak produktif selama bertahun-tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gangguan MEP terhadap masyarakat itu menjadi tantangan kita. Itu hampir merata di semua wilayah di Gunungkidul," ujar Harry.
Menurut informasi yang dia terima, gangguan monyet ekor panjang itu diduga terjadi sejak 10 tahun silam. "Dengan menggandeng ahlinya, tentu kita bisa mendapatkan rujukan untuk melangkah lebih lanjut agar arah langkah kita itu tidak menyimpang," ucapnya.
Kerja Sama Sejak September 2023
Harry menjelaskan, kesepakatan kerja sama antara DLH Gunungkidul dengan Fakultas Kehutanan UGM itu sejak awal September 2023. Rekomendasi atau hasil kajian tersebut diperkirakan selesai pada Desember mendatang.
"Dana Istimewa sebesar Rp 364 juta, target selesai akhir Desember. Akan kami sosialisasikan kepada masyarakat bagaimana rekomendasinya," kata Harry.
Harry menambahkan, pihaknya telah mengumpulkan data gangguan MEP yang akan digunakan sebagai rujukan.
"Awal tahun kami melakukan koordinasi dengan pihak kapanewon, panewu-panewu, untuk mencari data awal sebaran gangguan itu di mana saja, kapan terjadi dan intensitas terjadinya. Kami sudah mempunyai data awal untuk melangkah lebih lanjut," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, warga Kalurahan Kampung, Ngawen, Gunungkidul, bertahan dari gangguan kawanan monyet yang mencari makan. Gangguan monyet itu sampai membuat warga enggan bertani.
"Nanam padi itu belum sampai tua itu sudah dimakan kethek (monyet). Sudah lima tahun gagal dan biasanya banyak tapi sekarang itu sudah habis," kata warga, Janto Suwarno (72) kepada detikJogja, Rabu (25/10).
Janto menyebut sudah lima tahun terakhir ini petani di kampungnya tidak bercocok tanam. "Sekarang tidak ada tanaman. Suket (rumput) aja dimakan. Kita istilahnya berpacu dengan kethek," katanya.
Dukuh Ngawen, Kartinem menyebut ada empat padukuhan yang terdampak gangguan monyet, yaitu Ngawen, Gununggambar, Suru, dan Gelaran. Kartinem sudah mengadu dan meminta solusi kepada pemerintah.
"Karena tidak bisa kita menanggulanginya, kita belum menemukan, soalnya kita berkeluh kesah kepada pemerintah mereka juga tidak tahu cara penanggulangannya," papar Kartinem, kemarin.
(dil/rih)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang