Sosiolog Tanggapi Kriminalitas di Surabaya yang Makin Marak

Sosiolog Tanggapi Kriminalitas di Surabaya yang Makin Marak

Firtian Ramadhani - detikJatim
Rabu, 11 Sep 2024 04:30 WIB
ilustrasi kejahatan kriminal perampokan pembunuhan pemerkosaan pencopetan
Ilustrasi kriminal (Foto: Andi Saputra/detikcom)
Surabaya -

Beberapa hari terakhir, warga Surabaya sedang dihantui oleh maraknya kriminalitas yang terjadi di berbagai sudut Kota Pahlawan. Di antaranya, aksi begal, pencurian kendaraan bermotor (curanmor), narkoba, kejahatan jalanan, gangster dan lain-lainnya.

Merespons hal ini, Pakar Sosiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), Dr. Umar Solahuddin mengatakan tindakan kriminalitas di kota besar, salah satunya di Surabaya sedikit banyak disebabkan oleh persoalan ekonomi masyarakat.

Apalagi, kondisi ekonomi masyarakat tengah mengalami kondisi yang tidak baik-baik saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Contoh seperti maraknya PHK dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Dan banyak pengangguran, di samping itu tekanan ekonomi masyarakat semakin tinggi. Sehingga tidak sedikit atau banyak orang kemudian memilih jalan pintas dengan cara-cara apapun, meskipun melanggar hukum untuk mendapatkan tujuan yang dikehendaki," kata Umar Solahudin kepada detikJatim, Selasa (10/9/2024).

Kemudian, Umar menyoroti hal ini dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Menurutnya, kejahatan terjadi karena dua hal, yaitu niat dan kesempatan. Ia pun menganalogikan, dalam kondisi masyarakat dengan tekanan ekonomi kurang kuat, tetapi niat melakukan tindak kejahatan ada dan kesempatan tidak ada, maka kejahatan tidak akan terjadi.

ADVERTISEMENT

"Namun ketika ada niat tapi kesempatan nggak ada, misalnya barangnya nggak ada, penanganan pihak keamanan juga cukup kuat, kejahatan tidak akan terjadi. Artinya, kejahatan akan terjadi jika ada pertemuan antara niat seseorang yang berasal dari faktor internal, kemudian bertemu dengan faktor eksternal," terangnya.

"Misalnya, saya pengen mendapatkan uang yang banyak untuk beli ini dan ini. Tapi kemudian ditawari oleh teman ini narkoba, nah penggunaan narkoba itu ada niat dan kesempatan, terjadilah penggunaan narkoba. Inilah yang menjadikan marak terjadinya kriminalitas di Surabaya," tambah dia.

Lebih lanjut, ia menyoroti kurang optimalnya penegakan hukum. Sehingga, dirinya mendorong aparat kepolisian untuk lebih tegas menindak beberapa kejahatan dan pelanggaran hukum, serta memberikan efek jera bagi siapapun yang melanggar.

"Perlu ada tindakan represif dari aparat penegak hukum, di samping itu juga tindakan preventif, pencegahan dan tidak bisa hanya dijalankan oleh polisi tetapi juga partisipasi masyarakat. Ketika saling mengontrol setidaknya bisa menekan angka kejahatan di suatu tempat atau di suatu daerah. Kalau ini bisa dilakukan maka tindak kejahatan dimanapaun setidaknya bisa direduksi ke angka yang lebih minimal," urainya.

Lantas, bagaimana jika tindak kejahatan itu justru banyak dilakukan oleh anak-anak dengan kategori di bawah umur?

"Memang kalau anak yang terlibat dalam tindak pidana kejahatan bukan masuk dalam definisi kejahatan, kalau dalam pendekatan anak itu masuk dalam anak-anak berkonflik dengan hukum. Sehingga kalau ada suatu tindak kejahatan yang melibatkan anak itu belum ada kapasitas anak menjadi tersangka tunggal, karena itu bukan karena kemandirian seorang anak," tegasnya.

Tentu, ini berbeda ketika orang dewasa yang lebih mengerti. Sementara, anak lebih didorong melalui sikap impulsif dan sikap imitasi (meniru-niru), sehingga dalam pendekatan hukum tidak masuk dalam kejahatan anak, tetapi anak yang berkonflik dengan hukum.

"Jelas penanganannya berbeda, anak berkonflik dengan hukum dengan orang dewasa yang melakukan tindakan kejahatan semacam itu. Persoalan ini memang menjadi krusial di tengah masyarakat dan butuh penanganan secara komprehensif baik dari penegak hukum yang mana model penanganan harus lebih bersahabat dengan anak, namanya anak harus ada rambu-rambu tertentu yang diatur dalam UU Perlindungan Anak," jelasnya.

Begitu juga peran orang tua, tambah Umar, ini menjadi penting lantaran anak-anak semacam itu seringkali bermasalah dengan keluarga dan lingkungan sosial.

"Sehingga penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ini membutuhkan penanganan bersifat Pentahelix, artinya harus ada sinergi antara pihak kepolisian, masyarakat, tokoh agama, terutama orang tua di rumah dan sekolah jika anak yang bersangkutan masih duduk di bangku sekolah," pungkas dia.




(hil/iwd)


Hide Ads