Ada ribuan perkara pidana yang telah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Namun, tak semua perkara telah diputus maupun inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Data yang diperoleh detikJatim menyebutkan, ada 1.454 perkara pidana yang telah terdaftar dan menjalani proses persidangan di PN Surabaya. Dari jumlah tersebut, 29.8% perkara masih melalui proses sidang.
Wakil Humas PN Surabaya Anak Agung Gede Agung Pranata mengatakan jumlah tersebut mencakup seluruh jenis perkara pidana. Mulai pencurian, persetubuhan, penggelapan, narkotika, hingga penganiayaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk perkara pidana, jumlahnya 1.454 perkara. Dari jumlah tersebut, yang sudah diputus ada 1.020 perkara dan inkrah 925 perkara," kata Agung kepada detikJatim, Kamis (6/7/2023).
Agung menjelaskan perbandingan di tahun 2022 lalu, perkara pidana di tahun ini mencapai peningkatan. Namun, tak terlalu signifikan.
"Meningkat ya, sekitar 50,64% (keseluruhan). Naiknya sedikit (dibanding 2022), cuma 1%," ujarnya.
Dari 1.020 perkara yang diputus, peringkat pertama didominasi kasus narkotika. Baik pengguna, kurir, maupun pengedar. Jumlahnya, mencapai 385 perkara.
Di posisi kedua, disusul oleh perkara pencurian. Mulai dari pencurian ringan seperti curanmor, dengan pemberatan (curat), hingga disertai kekerasan (curas). Dalam kasus ini, jumlahnya mencapai 272 perkara. Yang ketiga ialah kasus perjudian. Namun, jumlah perkara lebih sedikit, yakni 52 perkara.
Sebaliknya, ada pula perkara yang menurun atau jumlahnya tak sebanyak 3 perkara di atas. Dalam 6 bulan terakhir, hanya ada 1 perkara yang telah diputus, yakni pornografi, pengeroyokan, pengancaman disertai kekerasan, dan meninggalkan orang yang membutuhkan pertolongan.
Meski begitu, Agung memastikan seluruh perkara itu adalah yang telah melalui serangkaian tahapan atau proses hukum di penyidik kepolisian maupun kejaksaan. Menurutnya, jumlah tersebut di luar kasus yang mendapatkan restorative justice (RJ).
Agung menyatakan seluruh perkara yang dalam proses sidang hingga diputus dan inkrah sesuai dengan kebijakan yang diterbitkan dan dijalankan Mahkamah Agung. Terutama untuk mendorong implementasi peradilan sederhana, efektif, dan efisien.
(pfr/iwd)