Selama sepekan ini, muncul dua kasus pemerkosaan yang dialami oleh siswa SMPN di Surabaya. Pertama dialami M (15) dicekoki minuman keras dan diperkosa oleh dua pemuda hingga hamil 5 bulan. Terbaru, siswi berusia 13 tahun diperkosa dan dirampas HP serta uang Rp 100 ribu oleh laki-laki yang dikenal dari medsos.
Melihat kasus kejahatan seksual yang terjadi terhadap anak di bawah umur ini, Praktisi psikolog klinis dan forensik Surabaya, Riza Wahyuni SPsi MSi mengatakan kejahatan seksual yang bermodus melalui medsos dalam 5 tahun terakhir cukup banyak di Jawa Timur. Permasalahan saat ini ialah generasi Z banyak bersosialisasi tidak di dunia nyata, tapi medsos.
"Yang tidak dipahami medsos tidak seindah dan seperti kenyataan, mereka tidak memahami cyber crime, ada hacker, steamer dan macam-macam istilah. Di mana itu sangat tidak dipahami mereka, terutama memiliki masalah di dalam keluarga, komunikasi keluarga tidak begitu baik, komunikasi terbatas, kemudian hubungan dalam orang tua. Remaja kita tahu mereka masih dalam mencari identitas, butuh pengakuan. Pengakuan itu artinya ketika saya membutuhkan pengakuan maka saya mencari orang yang bisa menerima apa adanya," kata Riza saat dihubungi detikJatim, Rabu (3/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak Jatim ini menjelaskan ketika melakukan perkenalan lewat medsos akan ada perhatian yang diberikan. Seperti menanyakan kabar, sedang apa, apakah sudah makan, sudah tidur hingga menjadi pendengar yang baik.
Pelaku sendiri akan meyakinkan kepada korban bahwa dia orang yang baik, bertanggung jawab, memiliki perhatian, setiap waktu diperhatikan. Sehingga, tanpa disadari anak-anak sudah terlibat secara emosional dan akhirnya terjebak.
"Ketika terjebak, mereka secara emosional merasa dekat, sudah terikat secara emosional, bergantung secara emosional, akhirnya bertemu lewat darat, dia sudah merasa nyaman. Akhirnya tidak sadar masuk perangkap pelaku kejahatan predator seksual, itu yang mereka tidak pahami," ujarnya.
Ia menyebut, tak hanya remaja saja yang menjadi korban kejahatan seksual. Tetapi juga dewasa awal, yakni usia 18-25 tahun banyak yang tertipu. Dimana saat ini banyak pelaku kejahatan berkenalan lewat medsos. Belum lagi, korban tidak menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak boleh di-upload ke medsos, karena dapat dilihat orang lain, terlebih yang tidak dikenal.
"Rata-rata ketika sudah menikmati kebersamaan, cerita di rumah begini, ada masalah keluarga, cerita ibu bapakku sibuk, curhatan-curhatan itu yang digunakan. Itu berisiko. Kemudian ketemu darat, dibawa ke suatu tempat dan itu yang terjadi. Ini sudah sekian ratus kasus. Memang angka kejahatan terhadap anak pada tahun 2022 meningkat drastis dan pelaku kejahatan seksual dan pelaku orang yang ada di sekitar anak, bukan hanya fisik tapi komunikasi," jelasnya.
Riza mengatakan ada bentuk kejahatan lain, ia menemukan anak video call diminta menunjukkan dan memegang alat kelaminnya. Parahnya, ia sendiri pernah menemukan kasus video call dengan menunjukkan alat kelamin, padahal korban dan pelaku belum pernah bertemu.
"Anak nggak tahu laki-laki itu wajahnya seperti apa, tapi mereka percaya bahwa dia orang baik. Artinya, ada masalah komunikasi keluarga itu penting. Pola pengetahuan yang sangat sederhana dalam keluarga, keluarga sederhana, pengetahuan terbatas menyebabkan keluarga tidak memahami apa yang terjadi kepada anaknya. Ekonomi juga berpengaruh. Orang tua sekarang lebih percaya pada anaknya dan mengalah, asal anak diam dan manut. Itu jadi problem," tukasnya.
(abq/dte)