Perkara gugatan terhadap amar putusan hakim PN Surabaya yang mengabulkan pernikahan beda agama resmi ditolak. Para penggugat dalam perkara itu dinyatakan tidak memiliki legal standing untuk menggugat hakim PN Surabaya.
Ketua Majelis Hakim PN Surabaya Khusaini menyatakan bahwa para penggugat tidak memiliki legal standing untuk melayangkan gugatan terhadap pihak tergugat dalam hal ini hakim PN Surabaya. Sebaliknya, majelis hakim mengabulkan eksepsi yang telah disampaikan oleh tergugat.
"Menyatakan, gugatan para penggugat tidak dapat diterima atau NO (Niet Ontvankelijkeverklaard). Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini ditaksir Rp 4.139.000," kata Khusaini saat membacakan amar putusannya di Ruang Tirta, PN Surabaya, Rabu (8/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard atau yang seringkali disebut sebagai Putusan NO adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.
"Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang dihadiri Khusaini sebagai hakim ketua, Tongani dan Darwanto masing-masing sebagai hakim anggota yang ditunjuk," ujar Khusaini.
Adapun pertimbangan hakim dalam putusan itu salah satunya adalah hak imunitas hakim yang telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 9/1976, bahwa 'hakim tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan atau penetapannya, baik pidana atau perdata'.
Selain itu, putusan itu juga didasarkan pada SEMA 3/2018 soal Rumusan Kamar Perdata yang menyatakan bahwa penetapan pengadilan dapat digugat dengan menggugat pihak yang menerima manfaat dari penetapan itu, bukan menggugat PN Surabaya sebagai pemutus permohonan nikah beda agama.
Mendengar putusan itu kuasa hukum penggugat nikah beda agama Sutanto Wijaya menegaskan bahwa dirinya menerima putusan itu. Dirinya mengaku tidak mengapa dengan putusan itu meski telah melalui perjuangan dalam proses yang panjang dan sulit.
"Apa pun hasilnya, kami menghormati putusan Majelis Hakim PN Surabaya. Minimal, kami (para santri/penggugat) pernah berjuang mempertahankan hukum agama dan hukum negara atas maraknya pernikahan beda agama yang diizinkan dan disahkan pengadilan," ujar Sutanto kepada detikJatim.
Meski putusan sudah dibacakan hari ini dan tidak memenangkan pihaknya, Sutanto menyoroti putusan itu tidak menyangkut substansi perkara. Melainkan, hanya formalitas dalam pertimbangan hakim, yakni SEMA Nomor 9/1976 dan SEMA Nomor 3/2018.
"Jadi, putusan tidak mempertimbangkan substansi gugatan, hanya membahas 2 SEMA itu tadi saja," katanya.
Saran dari MUI sebagai turut tergugat. Baca di halaman selanjutnya.
Sementara itu, salah satu turut tergugat, yakni Komisi Hukum dan HAM MUI Pusat Dr Fal Arovah menyatakan bahwa sebenarnya kesalahan hakim dalam menjalankan tugasnya tidak bisa digugat secara perdata sebagaimana termuat dalam SEMA 09/1976 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim.
"Di dalam SEMA itu juga meminta kepada Pengadilan-pengadilan tinggi dan pengadilan-pengadilan negeri dalam menghadapi gugatan terhadap pengadilan-pengadilan atau pun terhadap hakim di dalam pelaksanaan tugas peradilan, dapat menolak permohonan (gugatan) itu," tuturnya.
Oleh karena itu, Arovah menilai, bila ada putusan hakim atau pengadilan yang dianggap salah atau tidak tepat maka pencari keadilan dapat menggunakan upaya-upaya hukum yang ada seperti banding atau kasasi. Jika suatu putusan telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka dapat diajukan peninjauan kembali (PK) ke MA.
"Salah satu alasan untuk dapat mengajukan PK menurut pasal 67 huruf f UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah adanya suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap," katanya.
Maka dari itu, ia berkesimpulan jika perkawinan beda agama adalah tidak sah. Sehingga, akan berakibat pada anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi anak luar kawin, hanya punya hubungan hukum dengan ibunya, tidak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya, tidak bisa menjadikan bapaknya sebagai wali nikah, dan tidak saling mewaris antara anak dengan bapak biologisnya mau pun sebaliknya.
Ketika ada pasangan yang hendak menikah beda agama, kata Arovah, seharusnya memang dicegah. Pencegahan perkawinan beda agama berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Menurutnya pencegahan pernikahan beda agama itu justru melindungi setiap orang agar menaati hukum agamanya masing-masing yang berarti menjunjung apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1).
Sebelumnya, pasangan suami istri (pasutri) beda agama Islam dan Kristen mendapatkan pengesahan dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Selanjutnya, PN Surabaya memerintahkan agar Dispendukcapil Surabaya segera melakukan pencatatan pernikahan itu.
Pengesahan pasangan beda agama itu tercatat dalam Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. Pemohon merupakan BA, calon pengantin pria yang beragama Islam dan EDS, calon pengantin perempuan yang beragama Kristen.
Pasutri itu sebenarnya telah menikah sesuai agama masing-masing pada Maret 2022. Namun, mereka ditolak Dinas Catatan Sipil ketika hendak mencatatkan pernikahannya. BA dan EDS lantas mengajukan penetapan ke PN Surabaya agar mendapatkan izin menikah beda agama dan dikabulkan.