Putusan PN Surabaya Kabulkan Nikah Beda Agama Dianggap Langgar UUD 1945

Putusan PN Surabaya Kabulkan Nikah Beda Agama Dianggap Langgar UUD 1945

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Kamis, 16 Feb 2023 23:55 WIB
Prof Dr Neng Djubaidah saat memberikan keterangan dalam sidang di Gugatan Nikah Beda Agama di PN Surabaya
Profesor Dr. Neng Djubaidah saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli di PN Surabaya. (Foto: Praditya Fauzi Rahman/detikJatim)
Surabaya -

Sidang gugatan atas penetapan pernikahan beda agama oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali bergulir. Dalam agenda sidang kali ini dihadirkan Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Neng Djubaidah sebagai saksi ahli.

Ia menyampaikan pandangan pernikahan beda agama dan penetapan yang diberikan PN Surabaya terhadap para pemohonnya. Neng mengatakan sebagaimana diamanatkan di pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 pengabulan nikah beda agama oleh PN Surabaya tak seharusnya terjadi.

Sebab, sebagaimana diatur di pasal itu setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau semisal ada seseorang yang mencintai orang lain yang beda agama dan mengajak orang lain itu menjadi pasangannya (nikah beda agama) maka dia mengajak orang lain untuk tidak mencintai Tuhannya," kata Neng dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Saifudin Zuhri di Ruang Tirta, PN Surabaya, Kamis (16/2/2023).

Ia juga menjelaskan tentang sebab akibat pernikahan beda agama yang tersurat dan tersirat dalam pelbagai regulasi di Indonesia. Terbaru, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

ADVERTISEMENT

Gugatan bernomor 24/PUU-XX/2022 itu terkait pernikahan beda agama yang diajukan oleh seorang lelaki beragama Katolik, Ramos Petege yang hendak menikahi seorang perempuan beragama Islam.

"Melihat putusan MK tentang penolakan gugatan dan menurut hukum Islam, perkawinan itu merupakan ibadah, maka perlindungan terhadap orang Islam dalam melaksanakan ibadah melalui pelaksanaan perkawinan tersebut terdapat dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945," ujarnya.

"Perkawinan itu harus seagama, sehingga tidak ada pemaksaan terhadap satu pada yang lainnya untuk menjalankan agama lainnya itu, bukan juga pencatatan perkawinan," ujarnya.

Neng menegaskan bahwa hubungan nasab dengan perdata dalam pernikahan beda agama juga berbeda. Ia mencontohkan, hubungan dengan ayah hanya hubungan perdata.

"Ketika si anak wanita menikah maka ayahnya tidak bisa menjadi wali. Sang ayah hanya bisa memberikan wasiat," imbuhnya.

Secara yuridis formal, Neng menegaskan perkawinan di Indonesia diatur dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Artinya, beragam ketentuan harus sesuai dengan pasal 29 UUD 1945 yang menjadi syarat mutlak.

"Secara idah saja dalam perceraian, UU perkawinan dan putusan MK, sudah jelas nikah beda agama tidak sah. Jadi, anak itu dinyatakan tidak sah, itu masalah nasabnya. Namun, menganut agama ayah bila perkawinannya sah," ujar Dosen FH UI itu.

Oleh karena itu, Neng meminta kepada Majelis Hakim untuk membatalkan pengesahan pernikahan beda agama itu. Ia menilai keputusan pengadilan mengesahkan atau memberikan penetapan pada pemohon pernikahan beda agama termasuk perbuatan melawan hukum.




(dpe/dte)


Hide Ads