Lembaga Bantuan Hukum Komisi Perempuan (LBH KP) Ronggolawe Tuban mendesak polisi menangkap anak kiai yang menghamili pelajar SMP di Plumpang, Tuban. LBH KP Ronggolawe menganggap perbuatan itu melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Perayaan Hari Anak Nasional tahun 2022 ini terjadi kasus persetubuhan yang dialami anak usai 14 tahun di Kecamatan Plumpang. Korban melahirkan bayi usia 8 bulan kandungan alias prematur. Melihat situasi itu LBH KP Ronggolwe mendesak Kapolres Tuban menangkap terduga pelaku," ujar Warti Ketua Pelaksana Harian LBH KP Ronggolawe kepada detikJatim, Sabtu (23/7/2022).
Warti mengatakan, apa yang terjadi di Plumpang telah menambah panjang daftar kekerasan seksual terhadap anak di Provinsi Jawa Timur. Menurut catatan LBH KP Ronggolawe, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jatim terus meningkat sejak 2020 lalu.
"Kasus yang terjadi di Plumpang ini menambah daftar panjang kekerasan seksual terhadap anak di Provinsi Jatim. Pada 2020 tercatat ada 162 kasus. Pada 2021 jumlahnya meningkat dua kali lipat, menjadi 363 kasus. Sementara di paruh pertama (hingga Juni) tahun 2022, sudah ada 126 kasus," sambung Warti.
LBH KP Ronggolawe pun mengingatkan pihak kepolisian agar kasus kekerasan seksual yang terjadi di kabupaten lain, seperti di Jombang, Banyuwangi, dan juga di Malang yang dramatis diwarnai drama penangkapan tidak sampai terjadi di Tuban. Karena itu, kata Warti, polisi perlu mengambil langkah cepat.
"Berkaca dari kasus kekerasan seksual di Kabupaten Jombang, Banyuwangi, dan Malang yang begitu dramatis. Jangan sampai drama penangkapan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual itu juga dialami di Kabupaten Tuban jika tidak segera diambil langkah yang cepat," katanya.
LBH KP Ronggolawe juga telah melakukan pendekatan dan menemui orang tua korban. Menurut Warti, saat dirinya bersama Direktur LBH KP Ronggolawe Nunuk Fauziyah bertamu ke rumah korban pada 18 Juli lalu, ada kesan bahwa ibu korban terlihat sangat tegang dan terlihat mengalami tekanan psikologis sangat berat atas kejadian yang dialami anaknya.
"Pada saat pendekatan, respon pertama kali dari Ibu korban sangat tegang dan begitu nampak mengalami tekanan psikologis yang sangat berat atas kejadian yang dialami anaknya," ujarnya.
Ibu korban, kata Warti, mengatakan dengan terpatah-patah bahwa kasus itu sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Keluarga korban sudah diberi uang oleh keluarga Pondok Pesantren. Ibu korban bahkan menyampaikan pernyataan seolah-olah keadaan baik-baik saja. Bahwa bayi di kandungan putrinya saat itu adalah keturunan seorang kiai.
"Dengan terpatah-patah ia selalu mengatakan 'sudah diselesaikan secara kekeluargaan, kami sudah diberikan uang sama keluarga Pondok pesantren. Tidak apa-apa Mbak, bayi yang ada dalam kandungan anak saya keturunan kiai, setelah melahirkan anak saya akan dinikahi dan semua biaya ditanggung pelaku'," ujar Warti menirukan penuturuan ibu terduga korban.
LBH KP Ronggolawe pun mencoba mendorong ibu korban agar menuntut kasus itu diselesaikan secara hukum. Pihak LBH siap melakukan pendampingan hukum melibatkan pengacara beserta paralegal, konseling, dan pendampingan berkelanjutan.
"Sudah kami sampaikan seperti itu. Kami siapkan semuanya bila ibunya berkenan. Tapi ibu korban menolak dengan alasan seperti yang kami jelaskan tadi. Tapi menurut kami, dalam situasi apa pun, menikahkan korban dengan terduga pelaku bukan solusi dan pilihan baik. Meski menurut keluarga korban agar masalah cepat selesai, menutup aib, dan pelaku sudah mau bertanggung jawab," ujarnya.
Berdasarkan temuannya di lapangan, LBH KP Ronggolawe pun khawatir dengan kemungkinan adanya korban lainnya. Tidak hanya satu anak di TPQ yang karib dikenal Ponpes oleh masyarakat di dusun setempat tempat terduga korban tinggal. Warti menyampaikan, ia khawatir ada beberapa anak yang jadi korban kejahatan terduga pelaku.
"Menurut analisis temuan fakta di lapangan, kami sangat mengkhawatirkan jangan-jangan korbannya bukan hanya satu anak melainkan masih ada beberapa anak yang menjadi korban kejahatanterduga pelaku," ujar Warti.
Warti juga menyampaikan ajakan aga masyarakat turut membayangkan, bahwa ibu korban yang berada dalam kondisi tertekan tidak bisa melihat bagaimana kondisi psikis putrinya. Apa yang dirasakan putrinya sebagai terduga korban, dan apa yang ia inginkan dan butuhkan pada saat kasus kekerasan seksual itu dia alami.
"Jika perspektif Ibu korban tidak segera diluruskan demi kepentingan terbaik untuk anak, maka korban akan menikah dengan terduga pelaku kekerasan seksual. Dalam situasi seperti itu pastinya kita sudah bisa membayangkan hidup satu rumah dengan terduga pelaku kekerasan seksual. Korban pasti mengalami tekanan psikologis sangat berat, berada dalam relasi kuasa yang timpang," katanya.
Yang sangat membahayakan lagi, kata Warti, adalah perspektif masyarakat secara umum yang mengganggap bahwa kasus kekerasan seksual, yakni menghamili seorang anak tidak mendapatkan sanksi hukum yang berat sehingga kasus itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan pelaku bisa terbebas dari jeratan hukum.
"Untuk itu, kami sangat memohon supaya negara hadir dalam mengimplementasikan mandat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujarnya.
Anak kiai yang menghamili dan pelajar SMP terduga korban disebut pacaran tapi kebablasan dan akan menikah. Baca di halaman selanjutnya.
(dpe/dte)