Rupanya, mereka adalah keturunan dari Pangeran Lanang Dangiran, Adipati Surabaya yang menjabat di sekitar akhir tahun 1500-an atau awal 1600-an yang dimakamkan di pesarean tersebut. Sosok dengan nama lain Kyai Ageng Brondong ini juga diyakini merupakan orang pertama yang dikebumikan di sana.
Segenap keturunan Pangeran Lanang Dangiran ini datang untuk menjalankan tradisi tahunan yang disebut ruwah ngaturi atau ruwahan. Menurut pemerhati sejarah Nur Setiawan, tradisi ini merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya.
![]() |
"Tradisi ruwah ngaturi atau ruwahan itu akulturasi dari budaya Jawa kuno yaitu sraddha," ujar pemerhati sejarah Surabaya Nur Setiawan kepada detikJatim, Kamis (16/5/2024).
Setiawan menjelaskan sraddha merupakan tradisi sebelum Islam masuk ke Jawa, yang mana pada saat itu orang-orang mendatangi candi atau pemakaman untuk mendoakan leluhurnya. Kemudian seusai melaksanakan ritual doa, mereka akan makan bersama.
"Akulturasinya adalah tetap mempertahankan budaya itu (sraddha) yang disesuaikan dengan Islam seperti doa, tahlil, selawat," ujar Setiawan.
Tradisi ini terus dipertahankan trah Pangeran Lanang Dangiran sebagai bentuk penghormatan dan sarana mendoakan arwah leluhur. Selain itu, ruwah ngaturi juga merupakan sarana menyambung silaturahmi keluarga besar agar tidak kepaten obor (putus garis keluarga dan persaudaraan).
"Ruwahan juga merupakan momentum bagi orang tua menjelaskan kepada anak cucunya tentang siapa leluhur mereka, agar generasi selanjutnya selalu mengingat dari mana mereka berasal," tukas Setiawan.
(irb/iwd)