Pangeran Lanang Dangiran merupakan tokoh yang pertama kali dimakamkan di Pesarean Agung Sentono Botoputih di Jalan Pegirian, Surabaya. Dalam buku Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, Dukut Imam Widodo menceritakan riwayat hidup sosok yang memiliki nama lain Kyai Ageng Brondong tersebut.
"Konon dituturkan, ada seorang raja di Blambangan bernama Tawangalun. la mempunyai lima orang anak, salah satunya adalah Pangeran Lanang Dangiran," kata Dukut dalam bukunya yang dikutip detikJatim, Kamis (16/5/2024).
Pada usia 18 tahun, Pangeran Lanang Dangiran dikisahkan melakukan pertapaan di laut. Ia bertapa dengan cara menghanyutkan diri menggunakan sebuah papan kayu dan sebuah bronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan dan minum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arus laut kemudian membawa Pangeran Lanang Dangiran hingga ke Laut Jawa. Hingga suatu ketika, angin topan dan gelombang besar mengempaskan sang pangeran di pantai dekat Sedayu.
"Dalam keterasingannya di pantai dekat Sedayu, tanpa terasa badannya telah dilekati oleh kerang, keong, serta karang-karang dan remis. Sehingga badannya seolah-olah ditempeli bakaran jagung yang sering kita sebut brondong," tulis Dukut.
Pangeran Lanang Dangiran kemudian ditemukan oleh Kiai Kendil Wesi dan dibawa ke rumahnya. Di sana, ia dirawat oleh Kiai Kendil Wesi dan istrinya dengan penuh kasih sayang hingga kembali sadar dan sehat.
Saat sudah siuman, Pangeran Lanang Dangiran kemudian menceritakan siapa dirinya kepada Kiai Kendil Wesi. Sang Kiai, yang juga merupakan keturunan raja-raja di Blambangan yaitu Menak Soemandi, terkejut saat mengetahui mereka rupanya masih satu keturunan.
Pangeran Lanang Dangiran kemudian menetap di rumah Kiai Kendil Wesi. Bahkan, ia sudah dianggap anak sendiri oleh ulama tersebut.
"Pada akhirnya, Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama İslam. Dengan ketulusan dan dan kesucian hati, ia kemudian memperdalam agama Islam," ujar Dukut.
Menurut Dukut, tak lama kemudian Pangeran Lanang Dangiran mempersunting putri Ki Bimotjili dari panembahan di Cirebon. Lalu, ia dikenal sebagai Kiai Ageng Brondong, karena saat ditemukan oleh Kiai Kendil Wesi, badannya dalam keadaan dilekati dengan "brondong".
Setelah menikah, sekitar tahun 1595, Pangeran Lanang Dangiran memutuskan pergi ke Ampel Denta Soerabaia bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Mereka kemudian menetap dan menyebarkan ajaran Islam di sana.
"Mereka menetap di seberang timur Kali Pegirian, dekat Ampel. Tempat itu bernama Dukuh Botoputih. Di tempat yang baru inilah, Kiai Brondong mendapat martabat yang tinggi dari masyarakat sekitar karena keluhuran budinya," terang Dukut.
Kiai Brondong wafat pada tahun 1638 dalam usia 70 tahun dengan meninggalkan tujuh orang anak. Ia kemudian dikebumikan di kediamannya di Botoputih, atau yang sekarang dikenal sebagai Pesarean Agung Sentono Botoputih.
(irb/iwd)