Cerita tutur menyebut Raden Ayu Pandan Sari merupakan orang yang babat alas kawasan Kalibutuh. Versi lain menceritakan bahwa makam tersebut merupakan makam bayi keturunan Belanda dan Pribumi.
Kisah lain yang menyertai di sekitar tutur Pesarean Raden Ayu Pandan Sari adalah cerita yang kurang masuk akal dan sulit dicerna logika. Namun cerita itu tetap dituturkan dari masa ke masa.
Seperti cerita maling yang tiba-tiba tak terlihat setelah bersembunyi di komplek makam atau pesarean Raden Ayu Pandan Sari pada tahun 1980-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tau ono sing diuber polisi limo, siang-siang turu nang mburine mbah (Pernah ada yang dikejar lima polisi, siang-siang tidur di belakang Makam Raden Ayu Pandan Sari) gak ketok," ungkap Pembina Pesarean Raden Ayu Pandan Sari, Samad kepada detikJatim, Kamis (9/5/2024).
![]() |
Samad mengatakan dahulu kala, siapapun yang datang ke pesarean dengan tidak mengucap salam akan mendapat malapetaka. Samad menuturkan orang-orang yang seperti itu diyakini akan sekonyong-konyong lumpuh ketika menginjakkan kaki di area makam.
Samad juga menjelaskan mengapa tidak ada dokumentasi pesarean tersebut di masa lampau. Selain karena di zaman dulu hanya sedikit orang yang memiliki kamera, ia meyakini makam ini tidak bisa didokumentasikan.
"Dulu ceritanya kalau difoto, nggak bisa keliatan makamnya. Jadi seperti hilang di kamera," tukasnya.
Samad menjelaskan ada tradisi sedekah bumi untuk memeringati Haul Raden Ayu Pandan Sari rutin dilakukan oleh masyarakat Kalibutuh Timur, Tembok Dukuh, Bubutan, Surabaya. Pembina Pesarean Raden Ayu Pandan Sari, Samad mengatakan tradisi ini sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Tradisi sedekah bumi zaman dahulu lebih mengedepankan kesenian daerah. Pertunjukan ludruk dan ketoprak sering ditampilkan di malam sedekah bumi kala itu.
Namun yang cukup disayangkan, Haul Raden Ayu Pandan Sari di waktu lampau malah jauh dari nilai-nilai keislaman. Menurut Samad, hal seperti ini terjadi hingga akhir 1990-an.
"(Sedekah bumi sudah ada) mulai (zaman) nenek moyang. Cuma dulu itu kan orang-orang tua bikin tayub, minum-minum," kata Samad.
"Semenjak RW Pak Budiono sebelum (tahun) 2000, itu mulai diubah. Jadi minum-minum, ndak ada. Diganti istigasah, yasin tahlil, sama ritual," sambungnya.
Sedekah bumi yang dilakukan setiap tahun pada bulan Selo (Dzulqodah) ini, sekarang lebih mengedepankan nilai religius dan gotong royong warga. Biasanya, acara ini diselenggarakan selama dua hari dengan berbagai kegiatan.
"Hari pertama pagi khataman, terus malamnya istigasah, yasin, tahlil, dilanjut menghias becak per RT. Besok paginya, ritual keliling arak-arakan becak dan tumpeng," terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua RW 7 Kalibutuh Timur itu.
Arak-arakan digelar dengan berkeliling wilayah Kalibutuh. Rute yang biasa dilalui adalah Jalan Tidar - Jalan Patua - Jalan Tembok Dukuh - Jalan Kalibutuh - Jalan Tembok Sayuran - Jalan Tidar.
"Setelah ritual keliling yang dimeriahkan oleh reog, lalu (konser) campursari," tandas Samad.
(irb/iwd)