Hal ini diperkuat adanya temuan Situs Biting, salah satu jejak peninggalan Kerajaan Lumajang yang diperkirakan berasal dari abad ke-14 hingga abad ke-20 Masehi. Di sana, seorang Raja Lumajang bernama Arya Wiraraja dan Arya Wangbang Menak dimakamkan.
Lantas, seperti apa sejarahnya? Berikut sejarah Kerajaan Lumajang, hingga jejak Islam di Lumajang seperti dirangkum dari buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto.
Sekilas Tentang Kerajaan Lumajang
Berdasarkan hasil temuan sisa-sisa artefak dan ideofak menyebutkan kerajaan Islam di Jawa diawali dengan Lumajang, kemudian Surabaya, Tuban, Giri, lalu Demak. Keislaman Lumajang terlihat pada akhir abad ke-12 M, ketika Kerajaan Singhasari berada di bawah pimpinan Sri Kertanegara.
Berawal dari Sri Kertanegara yang semena-mena membuat Arya Wiraraja mengutus Jayakatwang untuk merebut kekuasaan Singhasari. Akibatnya, Sri Kertanegara tewas dalam peristiwa itu, dan tahta kerajaan diteruskan oleh menantu Sri Kertanegara yang bernama Nararya Sanggramawijaya.
Setelah mendapat dukungan dari Arya Wiraraja, Nararya Sanggramawijaya berjanji akan membagi wilayah kerajaannya dengan Arya Wiraraja, apabila ia berhasil menguasai Pulau Jawa.
Setelah berhasil menguasai Jawa, Nararya Sanggramawijaya diutus menjadi raja dengan gelar Abhiseka Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Ia lalu memberikan jabatan penting di Kerajaan Majapahit yang dipimpinnya kepada para kerabat dan pengikutnya atas jasa mereka.
Putra dari Arya Wiraraja, Arya Adikara Ranggalawe merasa tidak puas dengan jabatan yang diberikan kepadanya karena merasa tidak sepadan dengan pengorbanan yang telah ia lakukan. Terjadilah Pertempuran Kebo Anabrang antara Arya Adikara Ranggalawe dengan Patih Mangkubhumi, yang berakhir dengan tewasnya putra Arya Wiraraja tersebut.
Usai peristiwa itu, Arya Wiraraja menagih janji kepada Sri Kertarajasa Jayawarddhana atas wilayah timur kerajaan, yaitu wilayah Juru Lumajang yang merupakan warisan ibunya, Nararya Kirana.
Sri Kertarajasa Jayawarddhana mengabulkan permohonan itu, dan memberikan wilayah timur yang disebut Lamajang Tigang Juru atau Tiga Juru, yang meliputi Kerajaan Lamajang, Bayu, dan Wirabhumi dengan ibu kota Lumajang menjadi wilayah kekuasaan Arya Wiraraja bersama keturunannya.
Jejak Kebesaran Kerajaan Islam di Lumajang
Salah satu peninggalan Kerajaan Lumajang adalah situs Biting yang ditemukan di Dusun Biting, Desan Kutorenon, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lumajang. Juga menjadi tempat Raja Lumajang Arya Wiraraja dan Arya Wangbang Menak disemayamkan.
Tahun 1920, seorang peneliti asal Belanda, A. Muhlenfeld memulai penggalian dan pendokumentasian situs Biting. Namun, hasil penelitian tersebut tidak dipublikasikan, hingga tahun 1982 Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lumajang memulai proses rekonstruksi dan penggalian kembali situs Biting.
Berdasarkan hasil laporan dari Balai Arkeologi Yogyakarta, proses penelitian dan penggalian berlangsung 11 tahun dimulai 1982 sampai dengan 1991. Usaha tersebut membuahkan hasil.
Para peneliti menemukan sisa-sisa dinding benteng kuno dengan struktur bangunan dari bata dan temuan fragmen wadah gerabah, fragmen keramik, reruntuhan, yang berasal dari abad ke-14 hingga abad ke-20 M yang menyebar luas di sekitar area.
Banyak data artefak yang berhasil didapatkan, meskipun begitu tingkat validitas referensinya belum tinggi. Salah satu yang memperkuat adalah temuan Prasasti Mula Malurung.
Temuan itu menyebutkan salah seorang putri Nararya Seminingrat gelar Abhiseka Sri Prabhu Seminingrat Jayawisynuwarddhana, yang bernama Nararya Kirana yang dirajakan di Lumajang menunjukkan kebenaran mengenai bekas reruntuhan benteng tersebut berasal dari sebuah kerajaan besar.
Sumber Negarakretagama menyebutkan ibu kota Lumajang dengan sebutan Arnon-Renon maupun Lamajang Tigang Juru. Oleh karena itu, situs Biting ditetapkan sebagai situs arkeologis peninggalan Kerajaan Lumajang yang tersebar di atas area seluas 135 hektare.
Kawasan situs Biting diperkirakan merupakan kawasan ibu kota Kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Sri Prabu Arya Wiraraja, yang dikelilingi oleh benteng pertahanan.
Naskah Negarakretagama menyebutkan kawasan tersebut dengan nama Arnon, dan pada perkembangan abad ke-17 disebut Renon dalam bahasa Kawi, yang berarti pasir debu.
Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Jawa Kuno Biting yang bermakna 'Benteng'. Sebab, kawasan ini dikelilingi sisa reruntuhan benteng kuno yang berdiri kokok sepanjang 10 kilometer.
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/sun)