Wilayah yang berada di kaki Gunung Semeru ini tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya, tetapi memiliki sejarah panjang yang membentang sejak era Kerajaan Singhasari hingga masa kemerdekaan. Kaya akan tradisi dan budaya, Lumajang menawarkan pesona yang patut dijelajahi.
Kabupaten Lumajang memiliki sejarah panjang yang kaya budaya dan tradisi. Berdasarkan Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1177 Saka (1255 Masehi), wilayah Lamajang telah menjadi bagian penting dari kekuasaan Kerajaan Singosari.
Pada tanggal 15 Desember 1255, Nararya Kirana, putra Raja Wisnuwardhana (Nararya Seminingrat), diangkat sebagai penguasa wilayah Lamajang. Penetapan ini menjadi dasar resmi Hari Jadi Kabupaten Lumajang yang dirayakan setiap tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam prosesi Hari Jadi Lumajang, sering digambarkan cerita penobatan Nararya Kirana, lengkap dengan arak-arakan para punggawa kerajaan. Kegiatan ini juga diiringi syukuran berupa tumpeng dan gunungan hasil bumi sebagai simbol rasa syukur masyarakat Lumajang atas kelimpahan alam.
Wilayah Lumajang dikenal memiliki peran strategis dalam berbagai era kerajaan. Pada masa Kerajaan Kediri dan Majapahit, Lamajang menjadi jalur penting menuju Gunung Semeru, yang merupakan pusat spiritualitas Jawa. Selain itu, wilayah ini juga berkembang sebagai sentra keagamaan untuk mendukung aktivitas ritual kerajaan.
Hingga kini, Kabupaten Lumajang terus melestarikan tradisi dan budaya yang diwariskan sejak masa kerajaan, sembari berkembang menjadi salah satu kabupaten dengan kekayaan alam dan pariwisata unggulan di Jawa Timur.
Kabupaten Lumajang memiliki luas wilayah sekitar 1.790,90 kilometer persegi yang terbagi dalam 21 kecamatan, 198 desa, dan tujuh kelurahan. Sebelah barat Lumajang berbatasan Kabupaten Malang, utara berbatasan Kabupaten Probolinggo,timur berbatasan Kabupaten Jember, dan selatan berbatasan Samudra Hindia.
Sejarah Kabupaten Lumajang
Melansir laman Kabupaten Lumajang, sejarah Kabupaten Lumajang dimulai dari Kerajaan Lamajang. Nama Lumajang berasal dari kata Lamajang yang diketahui dari hasil penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan, dan hasil kajian pada beberapa seminar.
Bukti keberadaan Kerajaan Lamajang termuat dalam Prasasti Mula Malurung, Naskah Negara Kertagama, Kitab Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kitab Pujangga Manik, Serat Babat Tanah Jawi, Serat Kanda, Kidung Sorandaka, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Ranggalawe, Prasasti Kudadu, dan Prasasti Sukamerta.
Pada abad XII, Lamajang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Kediri. Lamajang menjadi sentra agama Hindu pada masa itu karena berada di lereng Gunung Semeru, yang dipercaya menjadi tempat bersemayam para dewa setelah puncak Gunung Mahameru di India dipindah ke sana.
Dalam Kitab Tantu Pagelaran disebutkan, Dewa Shiwa, Dewa Brahma dan Dewa Wishnu memindahkan puncak Gunung Mahameru di India ke atas Pulau Jawa. Puncak Gunung Mahameru tersebut sekarang dikenal sebagai Gunung Semeru, yang diyakini sebagai tempat persemayaman para dewa.
Baca juga: 9 Jalur Pendakian Gunung Semeru dan Rutenya |
Ketika Kerajaan Kediri runtuh dan digantikan kemunculan Kerajaan Singasari, Lamajang masih tetap menjadi daerah yang banyak dikunjungi. Raja Singasari keempat bernama Ranggawuni atau lebih dikenal Nararya Sminingrat meletakkan tonggak sejarah baru di Lumajang.
Dalam Prasasti Mulamalurung lempengan VII halaman a baris 1-3 disebutkan, Nararya Sminingrat menobatkan anaknya yang bernama Nararya Kirana sebagai penguasa Lamajang pada tahun 1177 Saka (1255 M). Kerajaan Singasari kemudian runtuh pada 1292 M akibat pemberontakan Jayakatwang.
Saat itu, pasukan Kerajaan Singasari dikerahkan dalam ekspedisi Pamelayu untuk menghadapi serangan pasukan Mongol. Kesempatan itu dimanfaatkan Jayakatwang untuk melakukan balas dendam dengan menyerang Kerajaan Singasari yang telah meruntuhkan Kerajaan Kediri.
Dalam penyerangan tersebut, Jayakatwang dan pasukannya berhasil membunuh Raja Kertanegara. Setelah Kerajaan Singasari runtuh, Raden Wijaya yang merupakan menantu Raja Kertanegara berhasil kabur ke arah timur. Raden Wijaya kemudian bertemu Arya Wiraraja, yang saat itu menjabat sebagai Adipati Sumenep.
Raden Wijaya bersama Arya Wiraraja merencanakan siasat merebut tahta kerajaan dari tangan Jayakatwang. Jika berhasil, Raden Wijaya berjanji membagi wilayah kekuasaannya dengan Arya Wiraraja. Sesuai saran Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang untuk mengabdi kepada Kerajaan Kediri.
Untuk membuktikan kesetiaan Raden Wijaya, Jayakatwang memerintah Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik. Ketika Raden Wijaya membuka Hutan Tarik, Arya Wiraraja mengirim orang-orang Sumenep untuk membantu Raden Wijaya dalam melaksanakan tugas tersebut.
Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang dari Sumenep menemukan buah maja yang rasanya pahit. Akhirnya, desa pemukiman di dekat Hutan Tarik diberi nama Majapahit oleh Raden Wijaya.
Dalam Naskah Yuan Shi dikisahkan bahwa pasukan Mongol bermaksud menghukum Raja Kertanegara pada tahun 1293 M. Karena Kerajaan Singasari sudah runtuh, Raden Wijaya akhirnya mengajak pasukan Mongol menyerang Jayakatwang.
Dengan dibantu pasukan Raden Wijaya dan pasukan Aryawiraraja, pasukan Mongol berhasil menghancurkan Kerajaan Kediri dan membawa Jayakatwang ke Ujung Galuh. Setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Kediri, pasukan Raden Wijaya dan pasukan Arya Wiraraja menyerang pasukan Mongol.
Raden Wijaya lalu mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat dirinya sebagai Raja Majapahit yang pertama. Raden Wijaya menepati janjinya kepada Arya Wiraraja dengan memberikan separuh wilayah kerajaan.
AryaWiraraja kemudian memimpin Kerajaan LamajangTigang Juru. Keraton Kerajaan LamajangTigang Juru berada di Arnon. Luas wilayah Kerajaan LamajangTigang Juru meliputi wilayah Lamajang, Besuki, Blambangan hingga Bali.
Selanjutnya, kemunculan Kerajaan Islam di tanah Jawa membawa pengaruh terhadap keadaan Lumajang. Seiring berjalannya waktu, Kabupaten Lumajang semakin berkembang. Kabupaten Lumajang memiliki berbagai potensi dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perindustrian, perdagangan hingga pariwisata.
(ihc/irb)