Pemerintah Hindia Belanda pertama kali mengeluarkan peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada 1848. Aturan yang kemudian disempurnakan pada 1892 itu mengatur tentang pendidikan dasar harus ada pada setiap karesidenan, kabupaten, kawedanan.
Kemudian pada 1901 peraturan baru muncul setelah adanya politik etis atau politik balas budi dari Kerajaan Belanda. Isinya bahwa anak-anak yang sudah berusia 6 tahun bisa bersekolah di Hollands-Indisce School (HIS) tanpa melalui kelompok bermain atau taman kanak-kanak.
Setelah melewati masa pendidikan HIS selama 7 tahun, anak-anak bisa melanjutkan pendidikan mereka ke tingkat selanjutnya, seperti Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) yang setara Sekolah Menengah Pertama (SMP).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa itulah Raden Soekeni Sosrodihardjo, ayah kandung presiden pertama RI Soekarno berkiprah di dunia pendidikan. Di awal politik etis Belanda mulai diberlakukan, Soekeni turut berperan dalam pendirian Inlandsche School yang menjadi cikal bakal HIS di Surabaya.
Kuncarsono Prasetyo, seorang pegiat sejarah dari komunitas Begandring Soerabaia menyatakan bahwa Soekeni adalah salah satu guru yang dipercaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengajar baca, tulis, dan hitung (calistung) kepada anak-anak pribumi atau bumiputra di masa politik etis.
"Inlandsche school menjalankan amanat politik etis bahwa pribumi setidaknya harus bisa baca tulis dan menghitung. Di pedesaan, sekolah semacam itu dikenal sekolah angka loro atau tweede school," kata Kuncar kepada detikJatim, Senin (26/6/2023).
Kuncar menceritakan bahwa begitu menuntaskan sekolah guru di Probolinggo, Soekeni ditugaskan untuk mengajar di Singaraja, Bali. Di sana Soekeni bertemu hingga akhirnya menikah dengan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben.
Setelah lahirnya anak pertama mereka bernama Soekarmini, pada tahun 1898 Soekeni mendapatkan besluit atau surat keputusan mutasi yang menugaskannya untuk mengajar di Surabaya, Jawa Timur.
![]() |
"Situs sekolah tempat Soekeni mengajar di Singaraja itu sebenarnya masih ada, tapi gedung sekolah itu sudah diganti. Lalu tahun 1898, saat anak pertama bernama Soekarmini sudah lahir, Soekeni dapat SK mutasi ke Surabaya," jelasnya.
Meski hingga kini belum ditemukan adanya bukti-bukti berupa artefak, sejumlah referensi dan sumber buku sejarah menyebutkan bahwa Soekeni memang mengajar di Inlandsche School Soeloeng yang kemudian menjadi HIS Soeloeng dan kini dikenal SDN Sulung, Surabaya.
Kuncar menyebutkan bahwa tidak ada catatan sejarah tentang fungsi bangunan Inlandsche School Soeloeng sebelum Soekeni ditugaskan mengajar di sana pada 1898. Dia hanya memastikan bahwa bangunan SD pribumi pertama di Surabaya itu didirikan di bekas bangunan Kraton Surabaya.
"Dugaan awal kita, konstruksinya full kayu dan sampai sekarang dipertahankan. Tapi, papannya sudah diganti whiteboard. Sebenarnya, itu (SDN Sulung) kan sekolah berada di tengah kota, saat itu. Dan itu adalah sekolah pribumi pertama yang masih bertahan sampai sekarang," katanya.
Bahkan, Kuncar memastikan ketika Soekeni mulai mengajar pada 1898, sekolah itu belum diresmikan. Berdasarkan catatan Koran Soerabaijasch Handelsblad, sekolah itu baru diresmikan oleh Asisten dan Resident Controleur Kota pada 20 Desember 1900.
Berdasarkan runtutan waktu yang sangat penting itulah Kuncar mengklaim bahwa Soekeni sebenarnya ditugaskan ke SDN Sulung saat itu untuk menginisiasi dan menyiapkan segala kebutuhan pendirian sekolah tersebut.
"Dugaan kami, periode 2 tahun itu adalah konsolidasi Soekeni dan kawan-kawan untuk menyiapkan Inland School, lalu 1914 namanya menjadi HIS atau sekolah pribumi Belanda," kata mantan pewarta surat kabar lokal di Surabaya itu.
Baca lebih lengkap di halaman selanjutnya.
Pada masa menyiapkan pendirian SDN Sulung itulah Nyoman Rai Srimben, istri Soekeni mengandung anak kedua mereka. Hingga pada 6 Juni 1901, Kusno lahir rumah kontrakan mereka di Pandean, Surabaya. Bayi itu di kemudian lebih dikenal Soekarno atau Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia.
Kuncar menyatakan bahwa keberadaan Soekeni di SDN Sulung terbilang singkat. Demikian halnya Soekarno saat bayi. Soekeni hanya 2 tahun di Surabaya kemudian dipindahtugaskan lagi ke Jombang pada Desember 1901, 6 bulan setelah kelahiran Soekarno.
"Setelah Soekarno dilahirkan, Soekeni mendapat SK mutasi lagi dari pemerintah era saat itu. Kemudian dipindah dan mengajar di Ploso, Jombang. Pada 6 Juni 1901 Soekarno lahir, 28 Desember 1901 Soekeni dipindah ke Jombang. Artinya, (bayi) Soekarno sempat 6 bulan di Surabaya," katanya.
Sepeninggal Soekeni, Inlandsche School Soeloeng berganti nama menjadi Hollands Indische School (HIS) seiring pemberlakuan politik etis pada 1914. Saat itu HIS hanya diperuntukkan bagi siswa yang orang tuanya memiliki penghasilan minimal 100 gulden per bulan.
Seiring berjalannya waktu, SDN Sulung yang terletak di Jalan Sulung Sekolahan Nomor 1, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan Surabaya telah melahirkan sejumlah tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Salah satunya Roeslan Abdulgani.
Roeslan pernah memimpin Revolusi Nasional Indonesia pada akhir 1940-an dan kemudian menjadi menteri utama serta duta besar PBB di pemerintahan Soekarno pada tahun 1950-an. "Roeslan Abdulgani adalah salah satu tokoh di SDN Sulung selain Soekeni," ujar Kuncar.
![]() |
Nanang Purwono, pegiat sejarah lainnya yang juga aktif dalam komunitas Begandring Soerabaia menyebutkan bahwa peran Soekeni itu membuat SDN Sulung bertahan hingga kini. Dia pun sempat bersekolah di sana.
Nanang mengatakan bahwa Sulung dan HIS bukan sekadar nama. SDN Sulung menjadi bukti autentik dan artefak bagi khalayak, khususnya warga Surabaya, tentang sejarah kelahiran Soekarno di Surabaya.
"Jadi, ruangan kelas dan bangku-bangku tempo dulu, saya pas di tahun 1974 sampai 1975 bersekolah di ruangan itu masih ada dan sangat layak jadi bukti autentik ketuaan atau kekunoan sekolah sebagai sekolah kebangsaan. Terutama untuk belajar tentang sejarah Soekarno," ujarnya.
Oleh arena itu, Nanang bersama para pegiat dan komunitas sejarah di Kota Pahlawan mendorong Pemkot Surabaya mengembalikan nama asli SDN Sulung yang sempat dinamai SDN Alun-alun Contong.
Dia pun bersyukur bahwa bangunan yang menjadi bukti bahwa Soekarno memang dilahirkan di Surabaya saat ayahnya mengajar di sebuah sekolah dasar bisa tetap dipertahankan hingga sekarang, termasuk namanya. Mengingat pada 1989 silam SD itu sempat terancam digusur.
"Pada tahun 1989, SDN Sulung hampir digusur untuk perluasan kantor Gubernur Jatim. Namun, Roeslan Abdulgani mengadvokasi dan meminta Presiden Soeharto agar sekolah tersebut tidak digusur, bahkan membuat plakat di lokasi," tutur Nanang.