Sejumlah bukti menunjukkan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya. Sang Proklamator dilahirkan di Jalan Peneleh Gang Pandean IV Nomor 40, Kecamatan Genteng, Surabaya pada 6 Juni 1901.
Salah satu bukti autentik bahwa presiden pertama Indonesia dilahirkan di Surabaya termuat dalam data pribadi Soekarno semasa kuliah di ITB Bandung. Data diri Soekarno itu termuat di buku induk Technische Hogeschool (TH) yang menjadi cikal bakal ITB Bandung.
Dalam buku induk itu disebutkan data tertulis tentang Soekarno. Di situ namanya tertulis sebagai 'Raden Soekarno', lahir di Surabaya pada 6 Juni 1902 bukan pada 1901 seperti yang resmi dikenalkan ke publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah keterangan menyebutkan perbedaan tahun itu lumrah di masa lalu. Biasanya anak yang hendak sekolah usianya dibuat muda atau sengaja dituakan oleh orang tuanya. Sehingga, ada kemungkinan data itu memakai data semasa Soekarno sekolah di HBS Surabaya.
Di buku induk TH itu pula Soekarno yang tercatat sebagai mahasiswa teknik sipil jurusan pengairan (waterbouwkunde) tercatat sebagai anak dari seorang guru (onderwijzer) di Blitar yang bernama R Sosrodihardjo.
Bukti lain bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya tertulis dalam buku otobiografi Sang Proklamator berjudul 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' karya Cindy Adam.
Di buku itu Soekarno mengungkapkan bahwa dirinya dilahirkan di Surabaya. Disebutkan pula alasan mengapa dirinya harus dilahirkan di Surabaya, yakni karena ayahnya, Raden Soekeni Sosrodiharjo pindah tugas mengajar ke Surabaya.
"Karena merasa tidak disenangi di Bali, Bapak kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk pindah ke Jawa. Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan," demikian kata Soekarno di buku itu.
Selanjutnya, dalam buku otobiografi itu pula diketahui bahwa Soekeni, ayah Bung Karno, diangkat menjadi guru di Surabaya pada Agustus 1898. Selama mengajar sebagai seorang guru yang ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda di Surabaya, Soekeni dan istrinya Ida Ayu Nyoman Rai Srimben tinggal di kampung Pandean.
![]() |
Lantas di mana Soekeni mengajar saat itu? Sekolah yang mengharuskan Soekarno dilahirkan di Surabaya itu ada di Jalan Sulung Sekolahan Nomor 1, Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya.
Sempat berganti nama jadi SDN Alun-Alun Contong, baru-baru ini Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengembalikan nama sekolah itu menjadi SDN Sulung seperti yang telah disebutkan dalam sejumlah referensi sejarah.
Ketika detikJatim berkunjung ke sekolah itu pada Senin (26/6/2023), sejumlah pilar kayu dan jendela besar bercat cokelat mengesankan bahwa bangunan sekolah yang masih berdiri kokoh dan berfungsi sebagai sekolah dasar itu bergaya klasik, khas era kolonial.
Masih ada 1 kelas yang dipertahankan bangunan aslinya. Bahkan, di ruangan kelas itu terdapat papan tulis, kapur tulis, piala, serta buku dan ijazah tempo dulu yang usianya lebih dari satu abad.
Terpampang juga di dinding kelas itu sejumlah foto tokoh-tokoh nasional. Salah satunya foto Soekarno kecil saat bersama ayah dan ibunya, Soekeni dan Nyoman Rai Srimben.
Pegiat sejarah Begandring Soerabaia Kuncarsono Prasetyo mengatakan bahwa Soekeni resmi mengajar di SDN Sulung sejak 1989. Sekolah itu diresmikan pada 1900 dengan nama Inlandsche School Soeloeng. Lalu pada 1914 berubah nama jadi Hollandsch Inlandsche School (HIS) Soeloeng.
Selanjutnya, pada era penjajahan Jepang pada 1942, namanya kembali berubah menjadi Sekolah Rakyat (SR) Soeloeng dan berubah lagi ketika Indonesia merdeka pada tahun 1980-an menjadi SD Soeloeng.
Pada masa reformasi sekitar 1998, nama sekolah yang masih menyimpan artefak yang menjadi bagian dari sejarah Proklamator Indonesia itu berubah lagi menjadi SDN Alun-Alun Contong 1, hingga baru-baru ini telah dikembalikan menjadi SDN Sulung.
"Ayahnya Soekarno dulu sekolah guru di Probolinggo, lalu ke Bali hingga kenal dengan Nyoman Rai Srimben. Situs sekolah tempat Soekeni mengajar di Singaraja itu sebenarnya masih ada, tapi gedung sekolah itu sudah diganti. Tahun 1898, saat anak pertama bernama Soekarmini sudah lahir, Soekeni dapat SK mutasi ke Surabaya," ujarnya.
Setelah lahir, Soekarno yang baru berusia 6 bulan diboyong ke Jombang. Baca di halaman selanjutnya.
Kuncar menyebutkan bahwa Inlandsche School Soeloeng saat itu berdiri sebagai sekolah pertama pendidikan dasar bagi pribumi di Surabaya. Alasan pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah itu diduga berkaitan erat dengan politik etis atau politik balas budi Belanda kepada pribumi.
Keberadaan Soekeni di SD Sulung itu terbilang singkat. Sebab, pada 1901 setelah kelahiran Soekarno, dia kembali mendapatkan besluit atau surat keputusan mutasi sehingga keluarga itu harus pindah lagi ke Jombang.
"Pada 1901 Soekarno lahir, 28 Desember 1901 Soekeni pindah ke pelosok Jombang. Artinya, Soekarno 6 bulan di sini (Surabaya) dan bapaknya hanya mengantar saja. Dari yang sebelumnya tidak sekolah menjadi sekolah," ujarnya.
Seperti disebutkan di awal bahwa di SDN Sulung itu masih tersimpan rapi sejumlah artefak berupa benda-benda peninggalan Soekeni saat masih mengajar di sekolah tersebut. Namun, SK atau catatan yang menyebutkan bahwa Soekeni sempat mengajar di sekolah itu memang tidak ada.
Hanya saja, Kuncar menyebutkan ada sejumlah buku dan referensi yang bisa menjadi bukti bahwa Soekeni memang pernah mengajar di SDN Sulung. Salah satunya termuat di buku 'Ayah bunda Bung Karno: R. Soekeni Sosrodihardjo, Nyoman Rai Srimben' terbitan 2002 karya Nurinwa Ki S Hendrowinoto.
Kepala SDN Sulung Arika Hary Cahyono menyatakan bahwa dia sepakat dengan langkah Pemkot Surabaya mengembalikan nama asli sekolah itu. Begitu juga dengan menjadikan salah satu kelas menjadi museum berisi artefak-artefak zaman dulu.
![]() |
"Proses verifikasi itu saya rasa penting ya, supaya Jas Merah atau Jangan Melupakan Sejarah, karena bangsa yang besar adalah yang bisa menghargai pahlawannya. Kalau bicara sejarah, kan tidak bisa asal comot, memang nama dan bentuknya juga harus sesuai aslinya," katanya.
Pria yang sebelumnya menjadi Kepala SDN Bubutan 4 itu menegaskan bahwa sementara ini koleksi museum masih terbatas. Namun, pihaknya bersama Pemkot Surabaya berencana mencari dan mengumpulkan aneka meja-meja klasik atau versi kuno untuk menggantikan meja baru yang ada.
"Ya supaya kesan klasiknya dapat, sampai saat ini masih dalam proses pencarian dan pengumpulan," ungkap dia.
Arika menyatakan, pihaknya juga akan mengadakan ekstrakurikuler mulai kelas 1 sampai 6 tentang sejarah dan budaya. Di mana sebelumnya, hanya untuk kelas 5 dan kelas 6 saja.
"Saya rasa, ini akan menjadi satu-satunya di Surabaya, selain dapat materi dari guru, kita juga ajak teman-teman dari komunitas sejarah juga dan nanti SD-SD lain juga bisa belajar sejarah di sini," jelasnya.
Maka dari itu, pria asal Ponorogo itu mengaku sangat mendukung para pegiat sejarah dan Pemkot Surabaya untuk mengembalikan nama serta wujud hingga piranti SDN Sulung menjadi seperti dulu lagi. Termasuk rencana pembongkaran bangunan di sekitarnya agar bangunan sekolah terlihat dari luar.
"Di belakang rencananya akan ada bangunan baru dinaikkan 3 lantai, lalu balai RW dan gedung di depan ini akan dihilangkan, supaya kelihatan SD-nya. Tapi, sekarang masih proses pelelangan, master plan-nya sudah ada dan masih proses lelang tentunya," tutupnya.