Bukan Alun-alun Contong, Nama SDN Sulung Lebih Melekat ke Bung Karno

Bukan Alun-alun Contong, Nama SDN Sulung Lebih Melekat ke Bung Karno

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Selasa, 27 Jun 2023 16:31 WIB
SDN Sulung, sekolah yang menjadi alasan kenapa Soekarno harus lahir di Surabaya
SDN Sulung Surabaya. (Foto: Praditya Fauzi Rahman/detikJatim)
Surabaya -

Bangunan kuno dan modern terpadu dalam sebuah sekolah dasar negeri (SDN) di Jalan Sulung Sekolahan Nomor 1, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya. Jendela klasik bermotif krepyak era Hindia Belanda, usuk-usuk tebal, hingga meja berbahan dasar kayu jati masih dipertahankan.

SDN Sulung, begitu namanya. Dahulu sempat bernama Hollands Indische School (HIS) atau sekolah bagi Pribumi di masa pemerintahan Hindia Belanda, kemudian berganti nama menjadi SD Sulung, SD Alun-alun Contong, hingga akhirnya kembali lagi menjadi SDN Sulung.

Penggantian nama SDN Alun-alun Contong menjadi SDN Sulung tidak dilakukan sembarangan. Di balik perubahan ini terdapat cerita menarik para pegiat sejarah yang khawatir bahwa nama Alun-alun Contong yang telah tersemat selama hampir 30 tahun itu bisa mengaburkan sejarah di balik sekolah itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nanang Purwono, pegiat sejarah dari Begandring Soerabaia mengungkapkan bahwa dirinya pernah menempuh pendidikan selama 2 tahun di SDN Sulung. Lebih tepatnya, pada tahun 1974 hingga 1975.

"Ketika menjadi SDN Alun-alun Contong saya pribadi belum mengetahui secara detail alasan di balik perubahan nama itu. Saya sempat bersekolah di tempat itu," kata Nanang kepada detikJatim, pada Kamis (21/6/2023).

ADVERTISEMENT

Nanang khawatir bahwa perubahan nama ini dapat mengubah fakta sejarah. Masyarakat tidak akan mengenal sejarah SDN Sulung yang sebenarnya, di mana Raden Soekeni Sosrodiardjo, ayah dari Presiden Pertama RI Soekarno pernah mengajar di sana.

Selain itu, Nanang dan para pegiat sejarah sedang melakukan penelusuran kembali terhadap jejak sejarah Soekarno. Menurut Nanang, dengan adanya perubahan nama tersebut, fakta dan bukti sejarah yang ada dapat berubah.

"Ketika kita menelusuri jejak Soekarno, kita tidak bisa melupakan bagaimana Soekarno dan kondisi sebelum ia lahir. Ternyata, ayah Soekarno mengajar di tempat ini dan tinggal di Pandean. Dahulu, dalam bahasa Belanda, tempat ini disebut Holland Indische School atau sekolah rakyat pada masa penjajahan Belanda, kemudian berubah menjadi SDN Sulung," ungkapnya.

"Ketika berubah menjadi Alun-alun Contong, kata 'Sulung' dihilangkan. Padahal, 'Sulung' adalah kata kunci dalam sejarah dan fakta bahwa ayahnya Pak Soekarno pernah mengajar di sana. Oleh karena itu, kami berusaha untuk memperbaiki ini dan alhamdulillah, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, merespons permintaan kami dan mengeluarkan SK baru untuk mengembalikan sejarah tersebut," tambah mantan jurnalis televisi lokal di Surabaya tersebut.

Tidak hanya terkait nama, Nanang mengklaim bahwa beberapa artefak masih tersimpan hingga saat ini. Hal ini terbukti ketika detikJatim mengunjungi lokasi itu. Ada sebuah kelas yang masih berisi bangku-bangku dan buku-buku tempo dulu yang ditempatkan di almari dan etalase kaca.

"Artefak itu bisa dimanfaatkan, oleh karena itu SDN Sulung bisa menjadi sekolah yang mempelajari sejarah, terutama sejarah dan nilai-nilai yang terkait dengan Soekarno. Pada 17 Juni 2023 Wali Kota Surabaya meresmikan kembali perubahan nama SDN Sulung," ujarnya.

Sekadar informasi, kompleks sekolah SDN Sulung memiliki 2 bangunan utama. Bangunan lama dan yang baru. Di tengah-tengahnya ada taman mini berukuran sekitar 4x2 meter.

Ada 1 dari sejumlah ruangan kelas yang masih lengkap berisi barang-barang kuno mulai dari kursi, papan tulis, dan buku-buku registrasi siswa tempo dulu yang usianya diperkirakan mencapai 1 abad. Nanang yakin bahwa ruangan ini bisa dijadikan sebagai museum artefak.

Nama adalah memori kolektif yang bila diganti maka memori itu turut hilang. Baca di halaman selanjutnya.

Selain itu, konstruksi arsitektur gedung ini terbuat dari kayu. Struktur kayu masih terlihat jelas. Meskipun beberapa bagian tertutup dengan triplek untuk memberikan kesan baru dan rapi, namun bagian-bagian khas dan klasik masih terlihat.

"Gedung lama itu terdiri dari 3 kelas. Ketika masuk ke dalamnya, saya teringat masa sekolah di sana. Namun, ketika keluar, suasana berbeda karena ada bangunan baru di sekitarnya," lanjutnya.

Nanang berharap bahwa elemen-elemen kuno tetap terjaga. Selain itu, elemen ini harus dimanfaatkan sebagai pendukung ketika masyarakat ingin belajar tentang nilai-nilai sosial, kebangsaan, sejarah, dan budaya.

"Secara fisik, gedung ini tetap harus menjadi sarana pendidikan untuk mempelajari sejarah dan nilai-nilai yang terkait dengan Soekarno. Melalui gedung ini, pesan yang tertulis di dalamnya masih dapat dihayati dengan keasliannya," jelasnya.

Sementara itu, pegiat sejarah lainnya Kuncarsono Prasetyo menjelaskan bahwa perubahan nama SDN Sulung menjadi Alun-alun Contong terjadi pada tahun 1986. Alasan perubahan ini adalah mengikuti nama dan lokasi kelurahan yang masuk dalam wilayah Alun-alun Contong.

Kuncar bersama dengan para pegiat sejarah lainnya berusaha mendorong Pemerintah Kota Surabaya untuk mengembalikan nama SDN Alun-alun Contong menjadi Sulung. Alasannya demi mempertahankan sejarah.

"Nama adalah memori kolektif publik. Jika nama suatu tempat diganti, maka memori tersebut akan hilang. Oleh karena itu, kami berjuang untuk mempertahankan memori ini, karena nama dan sejarah yang kami perjuangkan adalah sejarah kelahiran seorang tokoh besar yang harus diingat, yaitu bahwa bapak Soekarno pernah mengajar di SDN Sulung sejak dulu," katanya.

Meskipun demikian, tidak semua mantan murid SDN Sulung memahami sejarah di baliknya atau menyadari bahwa Raden Soekeni Sosrodiardjo pernah mengajar di sana, dan itu tidak menjadi masalah bagi Kuncar. Yang penting, nama lokasi tetap dipertahankan agar suatu saat nanti sejarah yang terkandung di dalamnya dapat ditunjukkan dan diteruskan.

Namun, gedung SDN Sulung belum termasuk dalam daftar cagar budaya. Meskipun begitu, Kuncar berpendapat bahwa gedung ini seharusnya diperlakukan sebagai cagar budaya.

"Artinya, gedung ini harus diperlakukan seperti cagar budaya," tambahnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dan para pegiat sejarah berusaha maksimal untuk mengembalikan penampilan asli gedung ini. Jika perlu, bangunan yang menutupi bagian depan gedung akan dirobohkan, dan ini sudah menjadi program Pemkot Surabaya.

"Sehingga, gedung ini dapat dilihat dari luar dan interior serta fungsi gedung dapat dikembalikan seperti semula. Gedung baru akan dibangun di bagian belakang, termasuk penyusunan silabus dan melibatkan komunitas," jelasnya.

Setelah nama SDN itu dikembalikan menjadi SDN Sulung, Kuncar memastikan bahwa Pemerintah Kota Surabaya telah merencanakan revitalisasi penampilan aslinya. Menurutnya, usulan ini telah diajukan pada tahun 2023. Paling tidak, pada tahun depan gedung ini akan direnovasi.

Halaman 2 dari 2
(dpe/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads