Legenda Gong Kiai Pradah, Pusaka Penakluk Angkernya Hutan Lodoyo Blitar

Urban Legend

Legenda Gong Kiai Pradah, Pusaka Penakluk Angkernya Hutan Lodoyo Blitar

Erliana Riady - detikJatim
Kamis, 16 Feb 2023 13:20 WIB
Legenda Gong Kiai Pradah, Pusaka Penakluk Angkernya Hutan Lodoyo Blitar
Gong Kiai Pradah saat upacara siraman (Foto: Erliana Riady/File)
Blitar -

Ritual jamasan Gong Kiai Pradah telah menjadi salah satu warisan budaya tak benda dari Kabupaten Blitar. Legenda gamelan tersebut menjadi cerita tutur yang mengakar dalam budaya wilayah Mataraman dan berkembang hingga kini.

Legenda Gong Kiai Pradah bersumber dari buku 'Upacara Tradisional Siraman Gong Kyai Pradah di Kabupaten Dati II Blitar Jawa Timur' Cabang Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah T1ngkat I Jawa Timur di Madiun, 1995, hlm. 1-5

Tersebutlah dalam kisah, antara tahun 1704 - 1719 Masehi di Surakarta bertahtalah seorang Raja bemama Sri Susuhunan Paku Buwono 1. Raja ini mempunyai saudara tua yang lahir dari istri ampeyan (selir) bernama Pangeran Prabu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada saat penobatan Sri Susuhunan Paku Buwono 1, hati Pangeran Prabu sangat kecewa karena sebagai saudara justru bukan dia yang dinobatkan sebagai Raja di Surakarta. Dari situlah kemudian timbul keinginannya untuk membunuh adiknya itu.

Namun niat jahat Pangeran Prabu tercium oleh Paku Buwono 1. Pangeran Prabu kemudian dihukum membuka hutan di daerah Lodoyo. Lodoyo sekarang dikenal sebagai satu wilayah di Kecamatan Sutojayan, yang pada saat itu merupakan hutan yang sangat lebat yang dihuni oleh binatang buas. Warga setempat bahkan menganggap hutan itu sebagai tempat yang sangat angker tempat banyak roh jahat berkeliaran.

ADVERTISEMENT

Hukuman itu, sebenarnya untuk membinasakan Pangeran Prabu secara tidak langsung. Karena selama itu, tidak ada manusia yang bisa selamat keluar dari Hutan Lodoyo. Mereka banyak yang mati diserang hewan buas. Atau mendapat gangguan makhluk halus yang menjerumuskan ke jurang.

Keberangkatan Pangeran Prabu diikuti oleh istrinya yaitu Putri Wandasari. Serta abdi kesayangannya bernama Ki Amat Tariman dengan membawa pusaka berupa bende (gong) yang disebut Kiai Becak atau Gong Kiai Pradah.

Pangeran Prabu beserta pengikutnya berangkat dari Surakarta menuju ke arah timur. Selang beberapa bulan mereka sampai di daerah Lodoyo. Lokasi pertama yang dituju adalah rumah seorang janda tua bernama Nyai Partasuta di Hutan Ngekul.

Pangeran Prabu yang masih merasakan kesedihan mendalam ingin bertapa di hutan Pakel (wilayah Lodoyo barat). Saat akan berangkat bertapa, Pangeran Prabu menitipkan bende Kiai Becak kepada Nyi Partasuta.

Di pesanggrahan Hutan Pakel, hati Pangeran Prabu tetap tidak dapat tenang. Sehingga dia akan meninggalkan tempat itu namun pakaiannya tetap ditinggalkan di Padepokan hutan Pakel. Sampai sekarang tempat itu masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan sekitarnya.

Dari Pesanggrahan Pakel Pangeran Prabu menuju ke arah barat. Namun tidak lama berselang mereka bertemu dengan para prajurit utusan Kerajaan Surakarta yang akhimya timbul perselisihan dan terjadilah peperangan yang dimenangkan oleh Pangeran Prabu.

Setelah keadaan dianggap aman Pangeran Prabu masih menunggu di bukit Gelung karena kemungkinan masih ada prajurit Surakarta yang datang kembali. Setelah dirasa sudah betul-betul aman, Pangeran Prabu melanjutkan perjalanannya menuju ke arah barat yaitu ke Hutan Keluk yang sekarang di sebut Desa Ngrejo.

Di tempat ini Pangeran Prabu memangkas rambutnya yang kemudian rambut itu ditanam bersama dengan mahkota kebangsawanannya. Tempat penanaman itu sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan sekitarnya.

Pangeran Prabu lalu melanjutkan perjalanannya menuju Hutan Dawuhan. Di tempat itu dia membuka ladang pertanian dengan menanam padi Gaga. Namun karena tanahnya pusa (tak subur) sehingga tanaman padi Gaga tersebut tidak dapat dipanen dan akhirnya tempat itu diberi nama Gagawurung.

Dari Gagawurung, perjalanan dilanjutkan menuju ke arah timur dan sampailah mereka di Hutan Darungan. Di tempat ini istrinya melahirkan seorang putra namun putra tersebut tidak berumur panjang karena meninggal dunia dan dimakamkan di Gunung Pandan di sebelah utara Gunung Bebek.

Perjalanan Pangeran Prabu dilanjutkan lagi menuju ke arah timur melewati Jegu dan sampailah di hutan Kedungwungu. Beberapa bulan di tempat ini Nyi Wandasari akhinya hamil.

Oleh Pangeran Prabu, istrinya diajak naik ke gunung di Kaulon dan di sinilah Nyi Wandasari melahirkan putra kembar. Namun putra kembar tersebut juga tidak berumur panjang dan meninggal dunia.

Semua itu karena tidak adanya piranti atau alat yang dapat digunakan untuk membantu dalam melahirkan anaknya. Sampai sekarang gunung tersebut di kenal dengan nama Gunung Peranti. Dan sampai di sini putuslah kisah Pangeran Prabu dan tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.

Kesaktian dan Bagaimana Gong Kiai Pradah Mendapatkan Namanya

Ritual tahunan Siraman Kyai Pradah di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar menjadi magnet tersendiri. Ribuan orang datang ke lokasi. Gong Kiai Pradah saat upacara siraman di Blitar (Foto: Erliana Riady/File)
Pangeran Prabu diusir oleh Sri Susuhunan Paku Buwono 1, karena diketahui berniat jahat hendak membunuh saudara mudanya tersebut. Pangeran Prabu diusir ke Hutan Lodoyo yang dikenal angker.

Berdasarkan buku 'Upacara Tradisional Siraman Gong Kyai Pradah di Kabupaten Dati II Blitar Jawa Timur', keberangkatan Pangeran Prabu menuju Hutan lodoyo diikuti oleh istrinya yaitu Putri Wandasari. Serta abdi kesayangannya bernama Ki Amat Tariman dengan membawa pusaka berupa bende (gong) yang disebut Kiai Becak.

Sebelum bernama Gong Kiai Pradah, gong tersebut bernama Kiai Becak. Gong ini sebenarnya milik Sutawijaya atau Panembahan Senopati, raja pertama Mataram. Gong ini telah membuktikan kesaktiannya saat digunakan Sutawijaya untuk mengusir prajurit Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) untuk menaklukkan Mataram.

Gong ini dipukul Sutawijaya berulang kali di tengah meletusnya Merapi dan kobaran api dari jerami yang dibakar. Suara Gong Kiai Becak menimbulkan suasana mencekam yang membuat Hadiwijaya akhirnya urung menyerbu Mataram. Gong Kiai Becak ini lalu jatuh ke tangan Pangeran Prabu yang merupakan anak dari selir.

Beberapa cerita tutur yang berkembang juga menyebut bahwa Gong Kiai Becak pernah digunakan oleh Demang Bocor untuk memadamkan pemberontakan Ki Ageng Mangir, seorang sakti yang tidak setia kepada Raja.

Pada suatu saat, Ki Amat Tariman sangat kebingungan karena terpisah dengan Pangeran Prabu. Dia lalu mencoba membunyikan Gong Kiai Becak sebanyak tujuh kali dengan maksud agar apabila Pangeran Prabu mendengar bunyi gong tersebut tentu akan mencari ke arah sumber suara itu.

Tetapi yang datang ternyata bukan Pangeran Prabu seperti yang diharapkan. Namun beberapa ekor harimau besar. Anehnya harimau–harimau itu tidak mengganggu Ki Amat Tariman. Binatang buas itu bahkan memberikan petunjuk di mana Pangeran Prabu berada. Sejak saat itu Gong Kiai Becak juga disebut Kiai Macan atau Kiai Pradah. Pradah artinya harimau.

Pangeran Prabu sengaja membawa Gong Kiai Pradah karena mengetahui soal keangkeran Hutan Lodoyo. Lodoyo sekarang dikenal sebagai wilayah di Kecamatan Sutojayan, yang pada saat itu merupakan hutan yang sangat lebat yang dihuni oleh binatang buas. Warga setempat bahkan menganggap hutan itu sebagai tempat yang sangat angker tempat banyak roh jahat berkeliaran.

Hukuman itu, sebenarnya untuk membinasakan Pangeran Prabu secara tidak langsung. Karena selama itu, tidak ada manusia yang bisa selamat keluar dari hutan Lodoyo. Mereka banyak yang mati diserang hewan buas. Atau mendapat ganguan makhluk halus yang menjerumuskan ke jurang.

Karena itu Gong Kiai Pradah akan digunakan untuk tumbal Hutan Lodoyo yang dianggap angker serta banyak dihuni oleh roh jahat. Pangeran Prabu beserta pengikutnya berangkat dari Surakarta menuju ke arah timur. Selang beberapa bulan mereka sampai di daerah Lodoyo. Lokasi pertama yang dituju adalah rumah seorang janda tua bernama Nyai Partasuta di Hutan Ngekul.

Pangeran Prabu yang masih merasakan kesedihan mendalam ingin bertapa di hutan Pakel (wilayah Lodoyo barat). Saat akan berangkat bertapa, Pangeran Prabu menitipkan Gong Kiai Pradah kepada Nyi Partasuta.

Riwayat Gong Kiai Pradah Selepas Kematian Pangeran Prabu

Ritual tahunan Siraman Kyai Pradah di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar menjadi magnet tersendiri. Ribuan orang datang ke lokasi. Gong Kiai Pradah terbungkus kain putih (Foto: Erliana Riady/File)
Pangeran Prabu yang merupakan pemilik Gong Kiai Pradah tidak diketahui siapa turunannya. Semua anak yang dilahirkan istrinya, Nyi Wandasari, meninggal dalam pembuangannya ke Hutan Lodoyo.

Sebelum bertapa dan berkelana, Pangeran Prabu telah menitipkan Gong Kiai Pradah ke seorang janda tua bernama Nyai Partasuta di Hutan Ngekul. Pangeran Prabu menitipkan Gong Kiai Pradah kepada Nyi Partasuta dengan beberapa pesan.

Pesan itu yakni setiap tanggal 1 Syawal (bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ) dan setiap tanggal 12 Rabiulawal (bertepatan dengan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW) pusaka tersebut harus dimandikan dengan air bunga setaman. Air bekas memandikan pusaka tersebut dipercaya dapat digunakan menyembuhkan penyakit serta dapat menentramkan hati bagi siapa yang mau meminumnya.

Nyi Partasuta yang dititipi Gong Kiai Pradah selalu melaksanakan pesan Pangeran Prabu untuk meruwat gong itu. Ketika Nyi Partasuta meninggal, Gong Kiai Pradah diserahkan kepada Ki Rediboyo di Ngekul.

Dari Ki Rediboyo, pusaka Kiai Becak diturunkan kepada Ki Dalang Rediguno di Kepek. Lalu diserahkan kepada Kiai Imam Sampurna. Pada suatu ketika, karena Kiai Imam Sampurna dipanggil ke istana Surakarta, maka Pusaka Kiai Becak atau Kiai Pradah diserahkan kepada adiknya bemama Kiai Imam Seco yang berdiam di Sukoanyar (sekarang disebut Desa Sukorejo), yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil penghulu di Blitar.

Pada tahun 1793, Kiai Imam Seco meninggal dunia dan Kiai Pradah dirawat dan dipelihara oleh Raden Ronggokertarejo. Gong ditempatkan di gedung pusaka Desa Kalipang Lodoyo sampai sekarang.

Bentuk Kiai Pradah berupa gong (kempul) laras lima yang dahulu dibalut/ ditutup dengan sutera pelangi/cinde dan di samping itu masih ada juga beberapa wayang krucil, kecer, dan beberapa benda lainnya.

Sampai sekarang pesan Pangeran Prabu untuk memelihara Pusaka Kiai Pradah tetap dilaksanakan dengan baik. Serta menjadi suatu upacara adat Siraman Pusaka Kyai Pradah setiap tanggal 1 Syawal dan setiap tgl 12 Rabiulawal.

Ritual ini selalu disesaki pengunjung yang berebut air bekas jamasan Kiai Pradah. Demikian sejarah ringkas Pusaka Kiai Pradah di Lodoyo yang dikutip dari ceritera Babat Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo menurut Serat Babat Tanah Jawi.

Halaman 2 dari 3
(sun/iwd)


Hide Ads