Asal-usul Makam Gantung di Blitar yang Bikin Penasaran

Urban Legend

Asal-usul Makam Gantung di Blitar yang Bikin Penasaran

Suki Nurhalim - detikJatim
Kamis, 17 Nov 2022 13:54 WIB
makam gantung
Makam Gantung di Blitar/Foto: Erliana Riady
Blitar -

Apakah Anda pernah mendengar soal makam gantung? Bagi warga Blitar mungkin itu sudah tak asing, tapi Anda yang belum tahu pasti penasaran.

Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, detikcom pernah mengunjungi makam gantung yang dimaksud pada 2018. Yakni Pesanggrahan Djojodigdan di Jalan Melati 43 Kota Blitar.

Waktu itu, tampak dua patung singa duduk di sebelah kanan dan kiri teras rumah kuno tersebut. Area makam gantung ada di bagian belakang sisi kanan.

Dalam cerita yang berkembang di masyarakat, makam gantung disebut sebagai makam keramat di Blitar. Di tempat itu dimakamkan Mas Ngabehi Bawadiman Djojodigdo, seorang Patih Blitar yang menguasai ilmu pancasona.

Ternyata, makam itu tidak digantung. Hanya saja, posisi nisannya lebih tinggi dibandingkan nisan-nisan lain di pemakaman itu.

Nisan Makam Eyang Digdo dibangun dengan lantai pondasi setinggi 50 cm. Bangunan dasar berundak dua itu setinggi 1 meter.

Di nisan bagian bawah (selatan) ada tulisan huruf Jawa. Menurut juru kunci makam gantung waktu itu, Lasiman, tulisan Jawa itu berisi sejarah lahir dan meninggalnya Eyang Digdo.

"Beliau lahir di Kulon Progo, Rabu Kliwon tanggal 5 Suro 1755. Atau 29 Juli 1827. Meninggalnya Hari Kamis Pon, tanggal 18 Safar 1839 atau 11 Maret 1909. Saat berusia 84 tahun," jelas Lasiman saat ditemui di Padepokan Djojodigdo, Rabu (5/9/2018).

Makam tersebut, lanjutnya, dibangun pada 11 Ruwah 1840 atau 18 Agustus 1910. Lalu mengapa disebut makam gantung?

"Karena ilmu Eyang, baju kebesaran dan senjatanya digantung di atas pusara beliau. Makanya diberi nama makam gantung," imbuhnya.

Banyak orang mempersepsikan, jasad Eyang Digdo dimakamkan menggantung, alias tidak menyentuh tanah. Itu karena beliau punya ilmu pancasona. Ilmu yang disebut membuat pemiliknya bisa hidup lagi jika jasadnya menyentuh tanah.

Menurut Lasiman waktu itu, biasanya banyak peziarah yang datang. Mereka datang dari berbagai kota di Indonesia. Seperti Surabaya, Bandung, Jakarta dan beberapa kota di Pulau Kalimantan.



Simak Video "Makam Gantung, Tradisi dengan Makna Mendalam Bagi Masyarakan Tana Toraja"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/iwd)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT