Sejarah Pecinan di Kota Malang Sejak Zaman Kolonial

Sejarah Pecinan di Kota Malang Sejak Zaman Kolonial

Muhammad Aminudin - detikJatim
Sabtu, 21 Jan 2023 10:48 WIB
Sama seperti kota besar lainnya di Tanah Air, Kota Malang juga memiliki kawasan Pecinan. Atau kawasan yang dihuni masyarakat Etnis Tionghoa.
Pertunjukan Barongsai di Pecinan Kota Malang (Kelenteng Eng An Kiong)/Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim
Surabaya -

Sama seperti kota besar lainnya di Tanah Air, Kota Malang juga memiliki kawasan Pecinan. Atau kawasan yang dihuni masyarakat Etnis Tionghoa.

Pecinan di Kota Malang terbagi menjadi dua bagian. Ada wilayah timur mulai Jalan Gatot Subroto atau Boldi, Kebalen, Kotalama, sampai Jalan R E Martadinata. Bagian yang satu lagi yakni kawasan Pecinan di sekitar Pasar Besar Malang.

Pemerhati sejarah dan budaya Kota Malang Agung Buwana menuturkan, dulu di awal 1800-an, tempat berkumpulnya masyarakat Tionghoa di sekitar Kotalama, Kebalen, Jodipan, Mergosono sampai daerah Juanda atau Jalan Aris Munandar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buktinya, masyarakat Tionghoa waktu itu membangun sebuah tempat peribadatan di tahun 1820-1825, yakni Kelenteng Eng An Kiong yang saat ini berada di Jalan R E Martadinata itu.

Pada saat itu, pecinan berpusat di wilayah yang kini dikenal sebagai Boldi serta wilayah Kebalen. Di wilayah sekitar Kelenteng Eng An Kiong, sampai saat ini masih ada masyarakat Tionghoa yang menghuni dan menjadi Pecinan lama.

ADVERTISEMENT

"Kelenteng Eng Ang Kiong dibangun pasti ada komunitas di sekitarnya. Dan tertulis dalam prasasti bahwa yang membangun kelenteng masyarakat Tionghoa yang berada di sekitar situ, pada era tahun 1820-an," kata Agung berbincang dengan detikJatim, Sabtu (21/1/2023).

Agung melanjutkan, wilayah di sekitar Kelenteng Eng An Kiong merupakan daerah permukiman warga Tionghoa kala itu. Maka otomatis, wilayah yang ditempati dinamai kawasan Pecinan.

"Ada permukiman dan juga menjadi sentra perdagangan di situ. Maka dinamai Pecinan," sambung Agung.

Pergeseran aktivitas ekonomi mulai terjadi ketika memasuki akhir tahun 1800-an. Seiring dengan masuknya jalur kereta api.

Roda perekonomian awalnya berada di kawasan Boldi sampai Kebalen, kemudian aktivitas warga Tionghoa mulai bergeser ke arah barat dan barat selatan dari Kelenteng Eng An Kiong.

Pergeseran itu juga berkaitan dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda bernama Wijkenstelsel, yang terbit sekitar tahun 1826.

Dalam aturan itu, Belanda meminta masyarakat dari suatu etnik tertentu untuk tinggal pada suatu wilayah yang telah ditentukan di dalam kota.

"Dalam aturan itu, diatur sesuai etnis dalam satu wilayah. Kebetulan orang-orang Tionghoa berada di sebelah barat dari kelenteng hingga kawasan Pasar Besar. Orang-orang Arab berada di sebelah baratnya lagi," beber Agung.

Setelah wilayah-wilayah itu terbagi sesuai etnis, lanjut Agung, pemerintah Belanda ingin membangun pasar sebagai pusat ekonomi. Awalnya, pasar akan dibangun di atas tanah kosong sebelah utara Sungai Brantas, kalau sekarang lokasinya tak jauh dari Wisma Tumapel.

Namun rencana itu ditolak masyarakat keturunan Arab maupun Tionghoa karena dinilai terlalu jauh dari tempat mereka tinggal. Sehingga pemerintah Belanda memutuskan membangun pasar pada 1920, yang sekarang menjadi Pasar Besar Malang.

"Ketika Pasar Besar itu ada, maka banyak warga Tionghoa berpindah ke barat atau mendekati Pasar Besar. Seperti di Jalan Wiromarga, Pertukangan sampai wilayah Comboran. Sekaligus menjadikan kawasan Pasar besar menjadi wilayah Pecinan kedua," ujar Agung.

Sama seperti kota besar lainnya di Tanah Air, Kota Malang juga memiliki kawasan Pecinan. Atau kawasan yang dihuni masyarakat Etnis Tionghoa.Gerbang Pecinan sekitar Pasar Besar Kota Malang/ Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim

Agung menyebut sejak Pasar Besar diresmikan tahun 1924, kawasan di sekitarnya didominasi pedagang dari Etnis Tionghoa. Jumlahnya sampai 400-an.

Selain Etnis Tionghoa, juga ada lima toko milik pribumi, dua toko milik warga Jepang dan tiga sampai empat toko Etnis Arab.

"Artinya wilayah tersebut menjadi konsentrasi perdagangan warga Tionghoa waktu itu. Sekaligus menjadi kawasan Pecinan baru," terang Agung.

Menurut Agung, bukan hanya merintis pusat perdagangan sekaligus pemukiman baru di sekitaran Pasar Besar, warga Tionghoa juga mendirikan gedung sekolah di sisi selatan. Sehingga ikut mengubah warga Tionghoa dalam memajukan bisnis perdagangan mereka.

"Adanya sekolah itu sekaligus mengubah intelektual warga Tionghoa peranakan. Bisnis mereka bukan hanya hasil bumi, tetapi sudah ke sektor penerbitan, percetakan dan lain sebagainya," pungkas Agung.

Saat ini batas Pecinan dengan perkampungan pribumi sudah semakin kabur. Sebab, ada pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya.

Lingkungannya kini berubah dari hunian menjadi kawasan perdagangan, dengan bangunan berupa rumah toko.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Napak-Tilas Tionghoa Tempo Dulu di Kompleks Pecinan Lasem"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/iwd)


Hide Ads