Gelar Haji adalah sebutan yang sangat dikenal dan dihormati di kalangan masyarakat Indonesia. Gelar ini diberikan kepada umat Islam yang telah melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Bagaimana sejarah penyebutan gelar ini?
Sebutan gelar haji menjadi hal yang familiar di tengah masyarakat Indonesia. Umat Islam yang telah melaksanakan ibadah haji akan mendapat gelar Haji atau Hajah di depan namanya.
Asal Usul Gelar Haji
Secara bahasa, kata "haji" berasal dari bahasa Arab "ḥajj" (حجّ), yang berarti "menyengaja" atau "berziarah", khususnya ke Baitullah (Ka'bah) di Makkah. Dalam konteks keagamaan, haji adalah ibadah tahunan yang diwajibkan sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang mampu secara fisik dan finansial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dunia Arab dan sebagian besar negara Islam, setelah seseorang menunaikan haji, mereka tidak selalu menyandang gelar khusus di depan nama mereka. Namun, di Indonesia (dan juga beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Brunei), gelar "Haji" menjadi semacam titel kehormatan yang diletakkan di depan nama, seperti halnya gelar akademik.
Melansir laman Kementerian Agama (Kemenag) RI, di masa lalu warga muslim Nusantara harus menempuh perjalanan yang panjang dan berat untuk bisa melaksanakan ibadah haji.
Penggunaan gelar "Haji" di Nusantara sudah dikenal sejak abad ke-17, terutama setelah hubungan antara masyarakat Indonesia dengan Makkah semakin erat. Para jemaah haji dari Indonesia kala itu memerlukan waktu berbulan-bulan untuk melakukan perjalanan, baik melalui laut maupun darat, yang penuh risiko dan rintangan. Karena perjalanan tersebut dianggap sebagai tanda kesungguhan, keberanian, dan kemampuan finansial, maka mereka yang berhasil melaksanakannya dianggap sebagai orang yang berilmu, berwibawa, dan berstatus sosial tinggi.
Awal Penggunaan Gelar Haji di Indonesia
Pada masa kesultanan Islam, khususnya di Kesultanan Aceh, Demak, Mataram, dan Banten, para ulama dan tokoh masyarakat yang telah haji biasanya memiliki kedudukan istimewa di mata raja atau sultan. Gelar "Haji" sering dijadikan simbol otoritas keagamaan, bahkan sebagai bukti pernah belajar ke Makkah atau Madinah (disebut "santri Jawi" di Timur Tengah).
Misalnya, Syekh Yusuf al-Makassari dan Syekh Nawawi al-Bantani adalah contoh ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Makkah dan mendapatkan kehormatan luar biasa sepulangnya ke Indonesia. Gelar "Haji" menjadi semacam tanda bahwa seseorang sudah mendapat ilmu dan legitimasi keagamaan dari pusat Islam dunia.
Gelar Haji di Masa Kolonial Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, keberadaan orang-orang yang bergelar "Haji" dianggap berpotensi sebagai ancaman politik. Hal ini karena banyak di antara mereka yang sekembalinya dari Makkah memiliki semangat perlawanan terhadap penjajah, serta mampu mempengaruhi masyarakat secara luas.
Pada zaman dulu pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membatasi jamaah haji dengan berbagai cara karena takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan. Salah satu caranya adalah dengan membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada tahun 1872. Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jamaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi. Dari sinilah muncul gelar haji di Indonesia.
Sebagai akibatnya, masyarakat semakin memandang gelar "Haji" tidak hanya sebagai status spiritual, tetapi juga simbol perjuangan dan kepemimpinan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, gelar "Haji" tetap bertahan sebagai gelar sosial dan religius. Ia digunakan secara luas di lingkungan masyarakat, terutama di wilayah pedesaan dan perkampungan, di mana orang yang telah haji sering dianggap sebagai tokoh masyarakat atau panutan agama.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak sedikit juga ulama yang mengingatkan bahwa gelar haji tidak boleh menjadi kebanggaan duniawi, melainkan justru harus mendorong pemiliknya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama.
Gelar "Haji" di Indonesia adalah hasil dari proses panjang interaksi antara ajaran Islam, budaya lokal, dan sejarah perjuangan bangsa. Dari awalnya sebagai tanda keberhasilan spiritual dan perjuangan fisik, hingga menjadi simbol sosial dan religius yang dikenal luas hingga kini.
Meski demikian, nilai sejati dari gelar haji bukan terletak pada penyebutannya, tetapi pada bagaimana seseorang menjaga kemuliaan ibadah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena haji yang mabrur, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
"Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga." (HR. Bukhari dan Muslim)
(dvs/lus)
Komentar Terbanyak
BPJPH: Ayam Goreng Widuran Terbukti Mengandung Unsur Babi
OKI Gelar Sesi Darurat Permintaan Iran soal Serangan Israel
Iran-Israel Memanas, PBNU Minta Kekuatan Besar Dunia Tak Ikut Campur