Setiap ada jemaah asal Indonesia yang berangkat menunaikan ibadah haji maka akan banyak keluarga, tetangga atau kerabat yang mengantar. Ternyata kebiasaan ini sudah berlangsung sejak lama.
Tradisi ini yang membuat asrama haji di beberapa lokasi di Indonesia penuh setiap kali musim haji. Belasan bahkan puluhan orang terkadang mengantar sampai titik keberangkatan ke Tanah Suci.
Sejarah Tradisi Mengantar Jemaah Haji
Mengutip buku Perjalanan Religi Haji dan Umroh Pasca Pandemi Covid-19 karya Fuad Thohari, perjalanan ibadah haji masyarakat Nusantara telah dilaksanakan sejak zaman kolonial. Di masa lampau itu, jemaah haji harus menempuh perjalanan selama berbulan-bulan melewati jalur darat dan laut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal inilah yang membuat perjalanan haji sebagai perjalanan panjang sehingga dianggap momen perpisahan.
Dalam buku Berhaji di Masa Kolonial, Prof M. Dien Madjid mencatat jemaah haji biasanya menggelar walimatus safar atau selamatan sebelum berangkat haji. Kebiasaan ini sudah kerap dilakukan sejak zaman kolonial Belanda.
Biasanya sebelum berangkat haji ada upacara perpisahan untuk saling memaafkan antara calon jemaah haji dengan masyarakat, mulai dari keluarga, kerabat dan juga tetangga, selanjutnya mereka mengantarkan kepergian calon jamaah sampai ke pelabuhan.
Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada calon jamaah haji yang akan melakukan perjalanan sangat jauh dan cukup lama. Bisa jadi upacara tersebut menjadi pertemuan terakhir sehingga tidak menjadi beban di kemudian hari karena sudah saling memaafkan.
Perjalanan para calon jamaah haji menuju Makkah digambarkan penuh dengan rintangan dan perjuangan. Di antaranya harus melewati ombak samudera yang besar dan hembusan angin kencang yang bisa mengakibatkan kapal karam dan membuat penumpang menjadi meninggal, cedera karena terhempas atau terhimpit, barang-barang berharga seperti uang, emas, dan perak menjadi hilang, namun ada juga penumpang yang masih beruntung dan selamat dari kecelakaan.
Selain itu, saat berlayar di atas lautan ada juga jamaah yang meninggal dunia karena kelelahan, kekurangan sarana, atau mengidap penyakit. Permasalahan lain yang terkadang bisa menimpa pada sebagian penumpang adalah harus merelakan barang-barang berharga karena dicuri orang. Akibatnya, ketika sampai di pelabuhan ia harus mencari pekerjaan menjadi buruh atau meminjam uang kepada syekh (pembimbing haji) untuk mendapatkan uang dan bisa melanjutkan perjalanan.
Pada zaman itu, perjalanan haji memakan waktu minimal enam bulan bahkan bisa sampai bertahun-tahun karena jemaah kehabisan bekal. Tidak sedikit orang Nusantara yang bisa berangkat haji namun tidak bisa kembali.
Dilansir dari laman Kementerian Agama (Kemenag) RI, pada akhir abad ke-19, suasana desa menjadi semarak ketika ada warga yang akan berangkat haji. Seluruh penduduk, tua-muda, lelaki-perempuan, turut serta dalam prosesi pelepasan. Saat itu, belum ada pesawat terbang. Para calon haji menempuh perjalanan laut dan darat yang panjang dan berat, bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun untuk pulang-pergi.
Stasiun kereta atau pelabuhan menjadi saksi haru perpisahan. Mereka yang mengantar bukan hanya berdiri di pinggir jalan, tapi ikut mengantar hingga ke gerbong atau geladak kapal. Isak tangis pecah ketika peluit kapal dibunyikan-tanda keberangkatan sudah dekat.
Ismail bin Hadji Abdoellah Oemar Effendi, seorang penulis dari awal abad ke-20, mendokumentasikan momen ini saat dirinya berangkat ke Singapura menggunakan kapal haji dari Pelabuhan Belawan, Medan. Ia menyaksikan ratusan pengantar berdiri penuh harap dan sedih di dermaga. Air mata menetes, pelukan terakhir diberikan, dan anak-anak menangis tak ingin berpisah dari orang tuanya.
"Ketika peluit kapal berbunyi, tangisan semakin keras. Ada yang bersimpuh di tanah, bahkan hampir pingsan karena menahan duka," tulisnya dalam catatan perjalanannya ke Melaka pada 1920-an. Itu bukan sekadar pelepasan, tetapi pemutusan sementara atas ikatan fisik dengan orang tercinta.
Kisah serupa datang dari Bandung tahun 1925. Bupati Wiranatakoesoema mencatat bahwa jumlah orang yang datang mengantar jauh lebih banyak daripada jumlah calon jamaah yang akan berangkat. Stasiun kereta penuh sesak. Bahkan, tiga gerbong tambahan disediakan hanya untuk para pengantar. Ini menggambarkan betapa berhajinya seseorang menjadi kebanggaan kolektif yang dirayakan seluruh komunitas.
Di balik tradisi ini, ada makna sosial yang dalam. Haji pada masa itu bukan sekadar ibadah individu, melainkan simbol kemuliaan, pencapaian hidup, dan berkah bagi keluarga. Maka wajar bila pelepasannya dipenuhi ritual sosial yang sarat emosi. Air mata, pelukan, dan derai tangis menjadi bagian dari spiritualitas itu sendiri.
Masyarakat tempo dulu memahami bahwa perjalanan haji bisa menjadi yang terakhir. Risiko tinggi, lamanya waktu, serta keterbatasan teknologi transportasi membuat banyak keluarga melepas sanak saudaranya dengan perasaan antara haru dan cemas. Sebagian bahkan sempat menggelar selamatan seolah-olah sedang melepas seseorang yang "berangkat ke akhirat".
(dvs/inf)
Komentar Terbanyak
BPJPH: Ayam Goreng Widuran Terbukti Mengandung Unsur Babi
OKI Gelar Sesi Darurat Permintaan Iran soal Serangan Israel
Iran-Israel Memanas, PBNU Minta Kekuatan Besar Dunia Tak Ikut Campur