Siaran TV digital rupanya belum bisa dinikmati seluruh keluarga di Kota Mojokerto. Sebab masih banyak keluarga miskin yang tak mampu membeli dekoder atau set top box (STB). Mereka terpaksa beralih mendengarkan radio atau melihat YouTube di ponsel untuk mengisi waktu senggang.
Seperti yang dirasakan Suyanti (46), warga Lingkungan Meri RT 1 RW 2, Kelurahan Meri, Kecamatan Kranggan. TV tabung 14 inchi menjadi hiburannya sehari-hari bersama 3 anaknya untuk mengisi waktu senggang siang sampai malam hari. Namun, dia tak lagi bisa menikmati hiburan tersebut sejak siaran TV analog dimatikan pemerintah pada Rabu (21/12/2022).
Karena ia tak mampu membeli STB, alat untuk mengonversi sinyal digital menjadi gambar dan suara untuk ditampilkan di tv analog. Sebab penghasilan suaminya sebagai pekerja serabutan yang rata-rata Rp 500 ribu per pekan, belum cukup untuk membeli dekoder. Tidak hanya itu, layar tv miliknya hanya berfungsi dua pertiganya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Belum memikirkan beli STB karena anak-anak masih butuh biaya sekolah. Anak pertama ikut ayahnya kerja, kedua sudah SMA kelas 2, yang terakhir masih TK. Hiburannya sekarang nonton YouTube di ponsel," kata Suyanti saat berbincang dengan detikJatim di rumahnya, Kamis (22/12/2022).
Begitu juga yang dirasakan Yusuf, warga Kelurahan Meri. Bapak 1 anak ini mempunyai TV tabung dan layar datar di rumahnya. Hanya saja keduanya masih analog sehingga tak bisa menampilkan siaran TV digital tanpa STB. Sedangkan gajinya belum cukup untuk membeli STB.
"Rencana TV tabung yang 14 inchi itu mau saya jual untuk beli STB. Sementara terpaksa tidak nonton tv," terangnya.
Kasmani (57) juga tak mampu membeli STB sehingga TV tabung miliknya tidak bisa berfungsi. Padahal, TV berukuran 21 inchi ini menjadi satu-satunya hiburannya untuk mengisi waktu senggang. Warga Lingkungan Balongrawe Baru, RT 3 RW 5, Kelurahan Kedundung, Magersari ini biasa menonton TV dari subuh sampai pukul 07.00 WIB, serta pukul 10.00-22.00 WIB.
![]() |
"Paling suka nonton sidang Sambo dan sinetron. Mulai kemarin sudah tidak bisa nonton karena siarannya dimatikan," ujarnya.
Penghasilan Kasmani sebagai asisten rumah tangga dengan penghasilan Rp 600 ribu per bulan, membuatnya tak mampu membeli STB. Ia biasa bekerja pukul 07.00-10.00 WIB. Sedangkan suaminya sudah tidak bekerja karena pikun. Meski tergolong keluarga miskin, ia tak menerima bantuan STB gratis yang digelontorkan Kementerian Kominfo.
"Hiburan saya ganti ke radio. Kalau ada rezeki beli STB. Karena gaji hanya untuk kebutuhan pokok sehari-hari, itu saja masih belum cukup, apalagi untuk beli STB. Harapannya mendapat bantuan STB gratis," jelasnya.
Pantauan detikJatim di beberapa toko Kota Mojokerto, harga STB merangkak naik sejak siaran TV analog dimatikan. STB merek Polytron dibandrol Rp 300 ribu, merek Luby Digitant Rp 325 ribu, merek Advan Rp 280 ribu, sedangkan merek Matrix Rp 250 ribu.
"Ada kenaikan harga dari Rp 175 menjadi Rp 290 ribu per unit," ungkap Pemilik Toko Anugerah Elektronik di Jalan Karyawan Baru, Iwan Susanto.
Tingginya permintaan masyarakat terhadap STB membuat para pedagang meraup banyak keuntungan. Menurut Iwan, ia mampu menjual 200 STB di hari pertama TV analog dimatikan. Sedangkan hari ini sudah laku 50 unit. Ia membeli STB dari distributor di Surabaya.
"Harga dari distributor sudah naik. Kami hanya ambil untung Rp 10-30 ribu per unit. Kenaikan harga sejak kemarin," cetusnya.
Begitu juga yang dirasakan Janarjo (72), Pemilik Toko Karunia di Jalan Karyawan Baru Blok F6. Ia mengaku baru menjual STB hari ini. Itu pun mengambil dari toko elektronik di Jalan Letkol Sumardjo, Kota Mojokerto. Karena stok STB di Surabaya sudah kosong.
"Saya jual merek Matrix Rp 250 ribu. Baru hari ini jualan, laku 5 unit saja," tandasnya.
(dpe/fat)