Kabut tipis yang kerap turun menyelimuti lereng tenggara Gunung Wilis seolah menyembunyikan sebuah rahasia tua dari hiruk-pikuk zaman. Di tengah hamparan hijau perkebunan teh yang tenang, berdiri tegak Candi Penampihan, sebuah situs pemujaan kuno yang menyimpan kemegahan peradaban Mataram Kuno dan getirnya kisah asmara yang kandas.
Bukan sekadar tumpukan batu andesit, candi yang terletak di Desa Geger, Kecamatan Sendang ini adalah lorong waktu. Namanya sendiri, "Penampihan", mengundang tanya, apakah ia bermakna penerimaan, atau justru sebuah penolakan halus yang menyakitkan? Dari prasasti raja-raja besar hingga mitos kolam yang mampu membaca nasib Pulau Jawa, mari kita telusuri lebih dalam jejak sejarah dan misteri yang bersemayam di balik sunyinya Candi Penampihan.
Sejarah Candi Penampihan
Dilansir dari laman resmi Bappeda Tulungagung, Candi Penampihan berdiri sebagai saksi bisu perjalanan panjang peradaban Jawa sejak era Kerajaan Mataram Kuno. Dibangun pada tahun 898 Masehi atau 820 Saka, candi Hindu yang dipersembahkan untuk Dewa Siwa ini memiliki arsitektur unik berupa punden berundak tiga teras.
Keberadaan candi ini melintasi berbagai pergolakan zaman, mulai dari Mataram Kuno, Kediri, Singasari, hingga Majapahit, namun fungsinya tetap bertahan sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Wenang. Konon, peresmian situs ini dahulu ditandai dengan sebuah pagelaran wayang, sebuah tradisi yang lekat dengan budaya leluhur.
Situs ini juga menyimpan catatan sejarah penting melalui prasasti yang ada di dalamnya. Berdasarkan penuturan juru kunci, Bu Winarti, prasasti tersebut merekam nama-nama besar seperti Raja Balitung dan seorang tokoh misterius bernama Mahesa Lalatan yang sejarahnya belum sepenuhnya terungkap, serta penyebutan Putri Kilisuci dari Kerajaan Kediri.
Lebih dari sekadar nama, prasasti di Candi Penampihan memberikan wawasan mengenai Catur Asrama, sebuah sistem stratifikasi sosial masyarakat masa lampau yang membagi penduduk berdasarkan kasta Hindu, yakni Brahmana, Satria, Vaisya, dan Sudra.
Nama "Penampihan" sendiri memiliki makna filosofis yang dalam, berasal dari bahasa Jawa yang berarti "penolakan" atau "penerimaan dengan syarat". Asal-usul nama ini erat kaitannya dengan legenda asmara seorang pembesar dari Ponorogo yang menaruh hati pada Dewi Kilisuci dari Kediri.
Sayangnya, lamaran sang pembesar berakhir dengan penolakan atau persyaratan yang berat, sehingga ia memutuskan singgah di kawasan ini untuk menyepi dan memuja dewata. Kisah cinta yang tidak berjalan mulus inilah yang kemudian melekat menjadi identitas nama kawasan tersebut.
Di balik nilai sejarahnya, Candi Penampihan menyimpan mitos unik terkait dua kolam kecil di kompleksnya yang disebut Samudera Mantana. Menurut kearifan lokal yang diamati selama puluhan tahun oleh sang juru kunci, kolam-kolam ini dipercaya sebagai indikator kondisi air di Pulau Jawa.
Kolam sebelah utara mencerminkan keadaan air di pantai utara, sedangkan kolam selatan mewakili pantai selatan. Pasang surut air di kedua kolam ini dianggap sebagai pertanda alam, jika kering, maka dataran di bawah sedang mengalami kekeringan, dan jika penuh, hal itu menjadi isyarat adanya banjir.
Lanskap di sekitar Candi Penampihan juga menawarkan jejak sejarah kolonial. Sejak zaman Belanda, area ini dikenal sebagai perkebunan teh yang produktif, terbukti dari sisa-sisa puing bangunan lama yang masih ada.
Namun, dinamika ekonomi dan ketidakstabilan harga teh membuat pengelolaannya di bawah Puskopad mengalami kebangkrutan pada awal tahun 2000-an. Kini, hamparan kebun teh yang luas telah beralih fungsi menjadi lahan sayur-mayur yang dikelola warga, menyisakan hanya sekitar satu hektare tanaman teh di dekat situs sebagai pengingat masa lalu kawasan ini.
Arsitektur dan Penemuan Candi
Dikutip dari laman resmi Pusdatin Kemendikbudristek, sebagai situs bersejarah yang telah mendapatkan pengakuan resmi melalui SK Penetapan Cagar Budaya tahun 2019, Candi Penampihan menyimpan kekayaan data autentik berupa dua jenis prasasti utama.
Prasasti pertama dipahat pada batu andesit berangka tahun 820 Saka yang dikeluarkan Rakai Watukura, penguasa Mataram Kuno yang memperluas pengaruhnya ke Jawa Timur. Prasasti ini diyakini sebagai prasasti tinulat (salinan) yang berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan raja.
Prasasti kedua adalah Prasasti Sarwadharma yang tertulis di atas tujuh lempengan tembaga berangka tahun 1191 Saka (31 Oktober 1291 M). Prasasti tembaga ini memuat informasi penting mengenai tatanan sosial masyarakat masa itu, termasuk pembagian kelompok kasta.
Secara arsitektural, candi yang terletak di tengah perkebunan teh lereng tenggara Gunung Wilis ini mengusung konsep punden berundak dengan orientasi membujur dari barat ke timur. Kompleks candi terbagi menjadi tiga tingkatan teras.
Teras pertama memuat sebuah altar berdenah lonjong dari batu andesit berukuran 5 x 2,5 meter, tempat prasasti batu tahun 820 Saka berada. Menuju teras kedua, pengunjung akan melewati area transisi yang dibatasi pagar batu andesit tanpa adanya bangunan khusus.
Keunikan utama terlihat pada teras ketiga atau teras tertinggi, di mana terdapat bangunan induk berbentuk kura-kura raksasa yang tersusun dari kombinasi batu andesit dan bata. Di samping bangunan induk, terdapat bangunan perwara di sisi kiri yang dihiasi panel relief cerita fabel (binatang) serta adegan dua ekor gajah yang sedang membajak sawah.
Sayangnya, warisan leluhur ini tidak luput dari tangan jahil manusia yang kurang menghargai sejarah, mengakibatkan rusaknya beberapa arca asli seperti Siwa dan Dwarapala. Demi alasan keamanan dan penyelamatan aset sejarah, arca Siwa yang tersisa serta relief gajah membajak sawah kini telah diamankan dan disimpan di Museum Purbakala Majapahit di Trowulan, Jawa Timur.
Mengunjungi Candi Penampihan, kita tidak hanya diajak menikmati kesejukan alam dan estetika arsitektur kuno, tetapi juga belajar menghargai sejarah. tanpa syarat.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
Simak Video "Video: Mengenal 5 Bangunan di Indramayu yang Jadi Cagar Budaya"
(ihc/irb)