Di desa kecil bernama Ngetos, sebuah peninggalan Majapahit masih berdiri, meski sebagian bangunannya telah runtuh. Susunan bata yang tersisa menjadi saksi kejayaan masa lampau.
Candi Ngetos masih menyimpan jejak arsitektural dan simbolik yang menunjukkan fungsi serta perannya dalam lanskap sakral di lereng Gunung Wilis. Ukuran sisa bangunan dan relung-relungnya mencerminkan tradisi pembangunan Jawa Timur pada masa Majapahit yang memadukan ragam hias klasik dengan teknik bata.
Sisa bangunan Candi Ngetos menunjukkan denah dengan bilik (cella) di bagian tengah, serta ambang pintu yang lebih tinggi dari dasar ruang, pola yang lazim ditemukan pada candi-candi di Jawa Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada bagian kaki tampak relief unik menyerupai salib Portugis, detail langka dalam ragam hias candi Jawa yang menarik perhatian peneliti dan publik. Candi yang menghadap ke barat ini juga masih menyisakan jejak tangga di sisi barat, memberikan petunjuk tentang tata susun bangunan dan orientasi ritualnya.
Tak hanya sebagai situs arkeologi, Candi Ngetos tetap hidup dalam ingatan dan praktik lokal. Berdasarkan catatan setempat dan tulisan populer, situs ini kerap digunakan dalam perayaan tertentu, serta dikelola sebagai objek wisata dengan fasilitas dasar, menegaskan perannya sebagai warisan sejarah.
Arsitektur Gaya Majapahit yang Tersisa
Dikutip dari buku berjudul "Candi Indonesia Seri Jawa" yang diterbitkan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Candi Ngetos dibangun dari bata (ciri khas banyak candi era Majapahit).
Sehingga atapnya yang semula kemungkinan besar juga berbahan bata kini runtuh, menyisakan tubuh dan kaki candi yang relatif utuh. Bangunan yang masih tersisa tercatat memiliki panjang sisi selatan sekitar 12,75 meter dan sisi timur 10 meter.
Sementara ketinggian sisanya mencapai sekitar 9,6 meter. Struktur bilik yang menempel di tengah denah dan ambang pintu yang lebih tinggi dari dasar bilik menunjukkan penataan ruang yang konsisten dengan praktik percandian di Jawa Timur.
Suasana Candi Ngetos Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani |
Pada tubuh candi terdapat relung-relung kosong berukuran sekitar 2 meter tinggi dan lebar 0,65 meter di sisi timur, selatan, dan utara. Sisi barat memiliki dua relung lebih kecil yang mengapit pintu masuk.
Keberadaan relung-relung ini untuk menempatkan arca atau benda perwujudan, sehingga kondisi kosongnya relung menyisakan pertanyaan mengenai arca asli dan nasibnya. Di atas relung-relung tersebut ditemukan hiasan yang disebut sebagai elemen rambut (jata/ornamen kepala), menegaskan ragam dekoratif yang khas.
Berdasarkan gaya dan tekniknya, Candi Ngetos dikelompokkan ke dalam candi-candi Majapahit dengan "Gaya Singhasari", sebuah terminologi arsitektural yang menunjukkan kesinambungan gaya dari Jawa Timur Kuno ke fase Majapahit.
Kekuatan bata sebagai bahan utama juga menandai adaptasi lokal terhadap sumber daya, serta praktik konstruksi yang punya konsekuensi perawatan berbeda dibandingkan candi batu andesit di wilayah lain.
Fungsi Ritual dan Keagamaan
Candi-candi tipe ini umumnya memiliki fungsi pendharmaan atau tempat pengungkapan arca perwujudan, yakni tempat untuk meletakkan arca yang merepresentasikan raja atau dewa tertentu.
Meskipun bukti epigrafis langsung untuk Candi Ngetos tidak disebutkan secara gamblang dalam ringkasan dokumen arkeologis yang tersedia, pola ruang dan relung mendukung interpretasi adanya fungsi religius yang signifikan. Di tingkat masyarakat lokal, Candi Ngetos dikenal bukan sekadar tinggalan arkeologis, melainkan ruang ritual yang masih hidup.
Beberapa liputan jurnalistik lingkungan kampus mencatat kawasan ini kerap digunakan dalam perayaan Hindu tertentu, sementara masyarakat setempat memandang Ngetos sebagai wilayah yang memiliki nilai sakral dan terkait erat dengan tradisi lokal serta ingatan kolektif tentang Majapahit.
Penggunaan kontemporer tersebut memperlihatkan keberlanjutan makna religius sekaligus praktik kultural yang terus menjaga keberadaan Candi Ngetos, bukan hanya sebagai situs sejarah, tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan sosial dan spiritual komunitas sekitarnya.
Lanskap Candi Ngetos dan Maknanya
Letak Candi Ngetos di lereng yang menghadap Gunung Wilis bukan kebetulan. Pola penempatan candi di Jawa sering mengaitkan ketinggian dan panorama alam dengan gagasan kosmologis, dengan gunung sebagai poros dunia atau tempat kediaman para dewa.
Karena itu, posisi Candi Ngetos yang memandang Gunung Wilis memperkuat kemungkinan fungsi simbolik dan ritual, sekaligus memberi latar visual yang kuat bagi pengunjung masa kini.
Candi Ngetos Foto: Cagarbudayajatim.com |
Situs-situs seperti Ngetos sering memiliki halaman candi bertingkat, terutama bila berdiri pada kemiringan. Pada kasus Ngetos, data menyebutkan kemungkinan pelataran bertingkat, dengan candi berada pada tingkat atas, pola yang juga tampak pada sejumlah situs Majapahit di lereng-lereng gunung.
Bentuk halaman seperti ini penting untuk dipahami saat merencanakan konservasi, agar sistem drainase dan stabilitas lereng tetap terjaga. Candi menjadi titik temu antara narasi sejarah (Majapahit, raja-raja, praktik pemujaan) dan kebutuhan komunitas modern (ibadah, wisata, pendidikan).
Upaya interpretasi situs yang sensitif harus melibatkan masyarakat setempat sebagai pemangku kepentingan utama agar pelestarian membawa manfaat budaya dan ekonomi tanpa merusak nilai-nilai arkeologis. Hal ini juga tercermin dari cara masyarakat dan pengelola wisata setempat memadukan fungsi sakral dan fungsi publik di Candi Ngetos.
Candi Ngetos menawarkan lebih dari sekadar jejak arsitektural Majapahit. Meskipun studi arkeologis penting untuk memahami gaya, fungsi, dan teknik bangunannya, signifikansi candi ini diperkuat oleh perannya yang berkelanjutan.
Sebagai situs yang memadukan fungsi sakral bagi komunitas lokal dan fungsi edukasi-wisata bagi publik, Candi Ngetos menjadi contoh nyata bagaimana sebuah peninggalan purbakala tetap relevan dan dihidupi oleh masyarakat modern di lanskap sakral lereng Wilis.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)













































