Di tengah pemukiman Kelurahan Kuncen, Kecamatan Taman, berdiri sebuah masjid tua yang menyimpan lapisan-lapisan sejarah dan legenda. Masjid Kuno Kuncen, yang dikenal pula sebagai Masjid Nur Hidayatullah, kerap disebut sebagai salah satu saksi perkembangan Islam di Madiun dan telah menarik perhatian warga, peneliti, serta wisatawan religi.
Meski ukurannya tak seluas masjid-masjid agung metropolitan, nilai historis dan arsitekturnya membuat tempat ini istimewa. Struktur serupa joglo, tiang saka kayu berusia, serta pagar batu bata yang menjulang menjadi ciri khas yang mudah dikenali. Kompleks ini juga berdekatan dengan sendang yang menurut tradisi setempat terkait dengan asal-usul nama "Madiun".
Dinamika penelusuran masa lalu menjadikan Masjid Kuno Kuncen menarik bukan hanya bagi peziarah, tetapi juga bagi pihak yang berkutat pada pelestarian cagar budaya. Pemerintah daerah beberapa tahun belakangan meningkatkan perhatian terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan kawasan ini sebagai destinasi wisata religi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Berdirinya Masjid
Dilansir dari laman resmi Kelurahan Kuncen, pergeseran kekuasaan besar terjadi pada tahun 1568 di Kesultanan Demak, yang dampaknya turut membentuk sejarah di Madiun. Era baru ini dimulai setelah Mas Karebet, atau Jaka Tingkir, memenangkan perang saudara.
Dengan restu para wali, ia naik tahta menggantikan mertuanya, Sultan Trenggono, dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Namun, Sultan Hadiwijaya menolak untuk berkedudukan di Demak dan memilih memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang.
Sejalan dengan perubahan tersebut, putra Sultan Trenggono lainnya, Pangeran Timur, diangkat sebagai Bupati Madiun pada 18 Juli 1568. Pengangkatan adik ipar Sultan Hadiwijaya ini dilakukan oleh Sunan Bonang yang mewakili dewan wali. Pangeran Timur, yang memerintah Madiun dari tahun 1568 hingga 1586, kemudian dikenal dengan gelar Panembahan Rama atau Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno.
Pada tahun 1575, Pangeran Timur mengambil keputusan strategis untuk memindahkan pusat pemerintahan Madiun dari wilayah utara (Kelurahan Sogaten) ke lokasi baru di selatan, yaitu di Kelurahan Kuncen (sebelumnya bernama Wonorejo). Selain mengurus pemerintahan, Pangeran Timur juga mengemban misi dakwah untuk menyebarkan agama Islam.
Karena penyebaran agama erat kaitannya dengan pendirian tempat ibadah, maka diyakini bahwa Masjid Kuno Kuncen (yang kini bernama Masjid Nur Hidayatullah) didirikan di Kuncen setelah perpindahan ibu kota tersebut, yakni sekitar akhir abad ke-16.
Peninggalan Sejarah
Peninggalan sejarah atau "artefak" di lokasi ini tidak merujuk pada benda-benda lepas yang dipamerkan, melainkan pada komponen-komponen asli yang menyatu dengan situs tersebut.
Di antaranya adalah bedug (kentungan besar) kuno yang diyakini seusia dengan masjid, serta mustaka (mahkota atap) asli masjid yang memiliki nilai sejarah tinggi. Selain itu, mimbar dan beberapa elemen arsitektur di dalam masjid juga masih mempertahankan keasliannya sejak era Pangeran Timur.
Artefak terpenting di kompleks ini sesungguhnya adalah keberadaan makam-makam kuno, terutama makam Pangeran Timur (Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno), Bupati Madiun pertama.
Kompleks makam ini, yang letaknya menyatu dengan area masjid, menjadi bukti utama fungsi Kuncen sebagai pusat pemerintahan dan penyebaran Islam pertama di Madiun. Nisan-nisan kuno dari para kerabat dan abdi dalem yang dimakamkan di sekitar Pangeran Timur juga menjadi peninggalan sejarah yang tak ternilai.
Di area kompleks Masjid Kuno Kuncen ini juga terdapat sebuah sendang atau sumber mata air yang oleh masyarakat setempat dianggap keramat. Sendang ini memiliki peran penting dalam tradisi lokal.
Air dari sendang ini dipercaya memiliki berkah dan sering digunakan untuk ritual jamasan (penyucian) benda-benda pusaka, terutama menjelang bulan Suro (Tahun Baru Jawa) atau saat perayaan Grebeg Maulud. Keberadaan sendang ini memperkuat status Kuncen tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan ritual dan budaya di Madiun pada masanya.
Arsitektur Khas dan Status Cagar Budaya
Arsitektur Masjid Kuno Kuncen merupakan cerminan otentik dari masjid pusaka Jawa yang berasal dari abad ke-16. Desainnya menonjolkan akulturasi budaya yang kuat, di mana ciri utamanya adalah penggunaan atap Tajug (limas bujur sangkar) yang bersusun tiga, mengadopsi gaya arsitektur meru dari era Hindu-Buddha, alih-alih menggunakan kubah khas Timur Tengah.
Struktur bangunan utamanya ditopang oleh empat tiang kayu jati kokoh yang dikenal sebagai Saka Guru. Selain itu, keasliannya masih terjaga melalui peninggalan seperti bedug kuno (sebagai pengganti menara untuk panggilan salat), mimbar, mustaka (mahkota atap), dan pagar bata merah tebal yang mengelilingi kompleks.
Karena nilai sejarah yang tinggi dan keunikan arsitekturnya, kompleks Masjid Kuno Kuncen (termasuk area makam Pangeran Timur) telah ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Kota Madiun sebagai Situs Cagar Budaya melalui SK Walikota pada tahun 2019.
Status ini memberikan perlindungan hukum penuh, yang berarti segala bentuk pemugaran atau penambahan fasilitas baru di kawasan tersebut harus dilakukan atas seizin dan pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Contohnya adalah pembangunan menara baru di tahun 2023, yang desainnya dikonsultasikan agar tetap selaras dengan nilai sejarah bangunan utama.
Masjid Kuno Kuncen adalah jejak konkrit yang menghubungkan masa lalu dengan keseharian warga Madiun. Perdebatan tentang tanggal pendirian atau nama pendiri menggambarkan hidupnya tradisi dan arsip, keduanya perlu disandingkan agar sejarah kawasan ini bisa ditulis lebih lengkap.
Upaya pelestarian dan pengelolaan wisata yang menghormati nilai asli akan menentukan apakah generasi mendatang masih bisa menyentuh, melihat, dan belajar dari warisan ini.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(auh/hil)












































