Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Gempolsari, Khusnul Kharim mengatakan, ada enam RT yang rumah warganya berada hanya sekitar 50 meter dari tanggul penahan lumpur di titik 67.
"Posisi rumah warga ini lebih rendah dari tanggul, ketinggian tanggul sekitar 11 meter. Kalau sampai jebol, bisa habis semua rumah terbawa arus," ujar Khusnul saat ditemui detikJatim, Selasa (27/5/2025).
Menurut Khusnul, kekhawatiran warga bukan tanpa alasan. Tanggul yang terus ditinggikan oleh Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) itu pernah mengalami ambles dua kali, masing-masing pada Oktober 2018 dan November 2020.
"Meski sekarang terlihat kokoh, tapi trauma itu masih ada. Warga tidak tenang, apalagi musim hujan seperti sekarang. Air di kolam penampungan itu sampai meluap seperti lautan," jelas Khusnul.
Tak hanya soal ancaman tanggul jebol, warga Desa Gempolsari juga harus menghadapi persoalan lain: kondisi rumah yang memprihatinkan. Banyak rumah warga mengalami retak-retak pada dinding, dan akses terhadap air bersih sangat terbatas.
"Air sumur rasanya asin dan warnanya kuning. Untuk mandi saja nggak layak, apalagi diminum. Setiap hari warga harus beli air bersih," ujar Khusnul.
Lebih parah lagi, saat musim hujan, ratusan rumah warga kerap tergenang air hingga berhari-hari. Menurut Khusnul, diduga telah terjadi penurunan tanah di kawasan enam RT tersebut.
"Saat banjir, airnya lama surutnya. Seperti ada penurunan tanah di sini. Kondisi ini sudah lama terjadi, tapi belum ada solusi nyata sampai sekarang," imbuhnya.
Ia juga mengenang peristiwa jebolnya tanggul lumpur di Desa Glagah Arum pada Desember 2010, yang sempat menyebabkan luapan lumpur mengalir ke Gempolsari. Warga saat itu sempat mengungsi dan hingga kini masih trauma.
"Waktu itu kami sempat evakuasi, karena lumpur sudah meluber. Kejadian itu masih membekas di benak warga. Kini kami hidup dalam ketidakpastian," ungkapnya.
Meski dalam kondisi sulit, warga masih bertahan di rumah masing-masing karena tak punya pilihan lain. Meski kondisi rumahnya banyak yang retak-retak dindingnya mengelupas, warga tetap tinggal di rumahnya masing-masing.
"Mau pindah ke mana? Ini satu-satunya tempat yang kami punya. Bahkan kalau malam harus berjibaku dengan nyamuk, aneh hingga saat ini nyamuk di desa kami banyak sekali, tidak seperti kampung lain," tutup Khusnul.
(auh/hil)