Kisah Tasripan 19 Tahun Hidup di Gubuk Pinggir Tanggul Lumpur Lapindo

Kisah Tasripan 19 Tahun Hidup di Gubuk Pinggir Tanggul Lumpur Lapindo

Suparno - detikJatim
Senin, 19 Mei 2025 17:30 WIB
Warga yang tinggal di gubuk pinggir tanggul Lapindo
Warga yang tinggal di gubuk pinggir tanggul Lapindo/Foto: Suparno/detikJatim
Sidoarjo -

Hampir dua dekade sejak semburan lumpur panas Lapindo menenggelamkan kampung halamannya, Tasripan (77) masih setia menempati gubuk reyot di pinggir tanggul lumpur. Sembari mengayuh sepeda tua, lelaki renta ini mencari botol bekas demi bisa sekadar makan sehari.

19 tahun sudah tragedi semburan lumpur panas Lapindo melanda Porong, Sidoarjo. Namun hingga kini, dampaknya masih membekas bagi sebagian korban. Salah satunya Tasripan, yang bertahan hidup di gubuk reot pinggir tanggul lumpur Desa Kalitengah, Kecamatan Tanggulangin.

Dulu, Tasripan tinggal di Desa Ketapang sebelum rumah dan penghidupannya hilang akibat semburan lumpur Lapindo. Meski sempat menerima ganti rugi Rp 80 juta, dana itu harus dibagi dengan dua anaknya dan tak cukup untuk membangun rumah kembali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aku sempat bangun rumah di Balongdowo, tapi gak kuat nerusin. Uangnya habis," kata Tasripan saat ditemui detikJatim, Senin (19/5/2025).

Sejak 2013, pria renta ini memilih menetap di gubuk seadanya tepat di bawah tanggul penahan lumpur. Bangunan berukuran 3x2 meter itu berdinding banner bekas, beratap asbes tua, tanpa listrik, dan menjadi saksi bisu perjuangannya sehari-hari.

ADVERTISEMENT

Untuk bertahan hidup, setiap pagi sekitar pukul 09.00 WIB, Tasripan mengayuh sepeda tuanya menyusuri jalanan, mencari botol plastik bekas dan kardus. Hasilnya tak seberapa, paling banyak Rp 20 ribu per hari.

"Gak banyak, tapi cukup buat makan sehari," ucapnya, tetap tersenyum meski di tengah keterbatasan.

Meski hidup jauh dari kata layak, Tasripan tetap terlihat ceria dan sehat. Dengan semangat, ia terus mengayuh sepeda tuanya, mengumpulkan rongsokan satu per satu, tanpa keluh, tanpa pamrih.

"Wong yo wes nasib. Sing penting sehat, iso mangan (Sudah nasibnya begini. Yang penting sehat, bisa makan)," lirihnya.

Tragedi semburan lumpur Lapindo pertama kali terjadi pada 29 Mei 2006, hanya 150 meter dari pemukiman warga di Kelurahan Siring. Ribuan warga dari belasan desa harus kehilangan rumah, tanah, dan penghidupan mereka.

Hingga hari ini, semburan masih berlangsung. Banyak korban, seperti Tasripan, yang belum benar-benar bangkit dan belum memperoleh ganti rugi sesuai harapan dari tragedi yang memorakporandakan hidup mereka.




(irb/hil)


Hide Ads