Masjid Rahmat Tertua di Surabaya, Jejak Dakwah Sunan Ampel

Masjid Rahmat Tertua di Surabaya, Jejak Dakwah Sunan Ampel

Katherine Yovita - detikJatim
Senin, 19 Mei 2025 02:00 WIB
Pengurus masjid menyemprotkan larutan disinfektan di lantai Masjid Rahmat, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (25/4/2020). Masjid yang terletak di Jalan Kembang Kuning tersebut merupakan salah satu masjid tua di Surabaya dan peninggalan Sunan Ampel. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.
Masjid Rahmat Kembang Kuning. Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Surabaya -

Masjid Rahmat Kembang Kuning merupakan salah satu masjid tertua di Surabaya. Bangunan ini bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Timur.

Masjid yang terletak di kawasan Kembang Kuning ini diresmikan pada tahun 1967 oleh Kementerian Agama (Kemenag), dan ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Wali Kota Surabaya saat itu, Tri Rismaharini, pada 2015.

Mengutip laman resmi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, sejarah Masjid Rahmat dimulai lebih dari 600 tahun lalu. Kala itu, Raden Rahmat atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel, melakukan perjalanan menuju Kerajaan Majapahit untuk menemui pamannya, Prabu Brawijaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertemuan tersebut terjadi atas permintaan sang raja yang tengah gelisah melihat kondisi rakyatnya yang dilanda perang saudara dan ketidakstabilan. Ia berharap kehadiran Raden Rahmat dapat membawa kedamaian dan meredakan kekacauan di wilayah kekuasaannya.

Sebagai bentuk penghargaan dan kepercayaan, Prabu Brawijaya menghadiahi Raden Rahmat sebidang tanah di kawasan Ampel Denta, Surabaya Utara. Awalnya, Raden Rahmat sempat berdakwah di lingkungan istana. Namun karena mayoritas penghuni istana masih menganut agama Hindu, sang raja khawatir akan muncul konflik dan akhirnya mempersilakan dakwah dilakukan di luar istana, tepatnya di tanah pemberiannya tadi.

ADVERTISEMENT

Dalam perjalanannya menuju Ampel Denta, Raden Rahmat ditemani Ki Wiryo Saroyo. Tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa Raden Rahmat, Ki Wiryo memutuskan untuk memeluk agama Islam dan menjadi pengikutnya. Kesungguhan dan ketulusan Ki Wiryo dalam memahami dan menyebarkan dakwah membuat Raden Rahmat memilih menetap di kawasan tersebut.

Hingga pada suatu malam, berdirilah sebuah langgar tiban, musala kecil yang diyakini muncul secara tiba-tiba, di atas tanah itu. Langgar inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Masjid Rahmat. Nama "Rahmat" sendiri diberikan Ki Wiryo Saroyo sebagai bentuk penghormatan terhadap guru sekaligus sosok yang membimbingnya dalam memeluk Islam.

Masjid ini mengalami renovasi pada tahun 2004 dengan sentuhan arsitektur yang lebih modern. Namun, nuansa spiritualnya tetap terasa kuat. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa siapa pun yang salat dan memanjatkan doa di masjid ini, maka hajatnya akan dikabulkan oleh Allah SWT.




(auh/irb)


Hide Ads