Sosok Bung Tomo, Pahlawan Pengobar Semangat Perjuangan 10 November 1945

Sosok Bung Tomo, Pahlawan Pengobar Semangat Perjuangan 10 November 1945

Firtian Ramadhani - detikJatim
Rabu, 06 Nov 2024 11:35 WIB
Bung Tomo adalah pahlawan nasional Indonesia. Pemilik nama asli Sutomo itu berperan saat pertempuran rakyat Surabaya melawan Belanda pada 10 November 1945.
Bung Tomo/Foto: Situs Kebudayaan Kemdikbud
Surabaya -

Melalui radio, suara Bung Tomo meledak-ledak menggema pada 9 November 1945. Salah satu sosok penting dalam pertempuran Surabaya 10 November itu sering membakar semangat rakyat Indonesia untuk terus berjuang sampai titik akhir.

"Saudara-saudara... kita pemuda-pemuda... rakyat Indonesia disuruh datang membawa senjata kita kepada Inggris dengan membawa bendera putih sebagai tanda bahwa kita menyerah dan takluk kepada Inggris. Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda... rakyat Indonesia: Hai Inggris, selama banteng-banteng dan pemuda-pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih... selama itu kita tidak akan menyerah," bunyi Pidato Bung Tomo 9 November 1945 dilansir dari Buku 'Bung Tomo Suamiku".

Sosok Bung Tomo

Bung Tomo adalah sosok nasionalis yang ingin mati-matian membela tanah air. Pemuda kelahiran Surabaya, 3 Oktober 1920 di Kampung Blauran ini pernah menjadi jurnalis hingga aktif dalam kelompok politik dan sosial. Sutomo yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya, terpaksa harus bekerja kecil-kecilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia merupakan anak sulung dari pasangan suami istri Kartawan Tjiptowidjojo dan Subastita. Ayah Bung Tomo adalah seorang priyayi golongan menengah, yang pernah bekerja sebagai staf perusahaan swasta, asisten kantor pajak hingga menjadi pegawai perusahaan ekspor-impor Belanda.

Sementara, Ibu Sutomo merupakan seorang perempuan berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Bung Tomo memiliki 5 adik, Sulastri, Suntari, Gatot Suprapto, Subastuti dan Hartini.

ADVERTISEMENT

Sutomo memulai pendidikannya dari Sekolah Rakyat (SR) atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Surabaya. Setelahnya, Bung Tomo melanjutkan pendidikan ke sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Saat berada di sana, Bung Tomo belajar beragam mata pelajaran seperti Matematika, Ilmu Sosial, Sejarah hingga Bahasa Jerman, Prancis dan Inggris. Berbagai sikap kritis dan keberanian Bung Tomo pun semakin bertambah.

Namun, Bung Tomo terpaksa meninggalkan pendidikan MULO kala berusia 12 tahun. Kondisi krisis ekonomi dunia membuat semua aspek pembangunan terhambat, termasuk aspek pendidikan. Bung Tomo pun sibuk bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.

Kemudian, Sutomo melanjutkan belajar di Hoogere Burgerschool (HBS) secara korespondensi. Meski demikian, ia tidak secara resmi lulus dari sekolah ini. Pendidikan Bung Tomo banyak dipengaruhi pendidikan informal di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Melalui filsafat kepanduan ini, Bung Tomo menempa kesadaran nasionalisnya. Kala itu, Sutomo cukup didapuk menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.

Buah kerja kerasnya berbahasa, menuntun Bung Tomo memilih jurnalistik pada bidang pekerjaannya. Sejak usia 18 hingga 25 tahun, Sutomo terlibat di berbagai media seperti Ekspres hingga Kantor Berita Antara.

Sutomo sempat menjadi Mayor Jenderal TNI AD hingga menjadi Koordinator Bidang Informasi dan Perlengkapan perang untuk TNI AD, AL dan AU. Pada 1959, Sutomo kembali didesak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sehingga, Bung Tomo melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia atas usulan keluarga.

Meski Bung Tomo mengikuti berbagai aktivitas perjuangan kebangsaan kala sedang menduduki bangku perkuliahan, dirinya tetap bisa menyelesaikan kuliah Fakultas Ekonomi itu dan lulus pada tahun 1969.

Pada masa revolusi, Bung Tomo menjabat sebagai Ketua Umum Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) dari 12 Oktober 1945 hingga Juni 1947. Selain itu, Bung Tomo juga pernah menjadi anggota Dewan Penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata di Jawa dan Madura dan anggota Staf Gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia.

Kobaran Semangat Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945

Sekutu mulai berdatangan pada Oktober 1945, warga Surabaya menjadi beringas, pemuda-pemuda mulai bersatu dan merapatkan barisan. Minggu pertama Oktober 1945, Surabaya praktis menjadi pusat perlawanan bersenjata.

Penjara dibuka, tawanan dibebaskan. Mereka yang ditahan karena tuduhan politik dan pidana bergabung menjadi satu dalam barisan massa di dalam Kota Surabaya. Saat itu, Bung Tomo tampil sebagai pimpinan pengobar semangat perlawanan.

Tergabung dalam Badan Pemuda Republik Indonesia (BPRI), Bung Tomo lantang menyiarkan suara di berbagai radio di Surabaya. Orasi penyemangat Bung Tomo dibarengi dengan Resolusi Jihad, yang mana disuarakan oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasim Asy'ari 22 Oktober 1945.

Beberapa hari kemudian, 27 Oktober 1945. Tentara sekutu menduduki pemerintahan Surabaya hingga memicu serangkaian pertempuran selama beberapa hari. Namun, pimpinan Inggris meminta Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran 29 Oktober 1945 itu.

Soekarno yang datang ke Kota Pahlawan menghasilkan kesepakatan gencatan senjata antara tentara sekutu dan para pejuang Surabaya. Nahas, pertempuran kembali terjadi hingga komandan tentara sekutu Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby tewas. Posisi itu kemudian digantikan Mayor Jenderal Robert Mansergh.

Pada 9 November 1945, Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya yang berisi perintah agar para pemimpin Indonesia di Surabaya melaporkan diri, menyerahkan senjata yang dimiliki pihak Indonesia kepada Inggris, serta bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

Namun, ultimatum tersebut ditolak oleh para pejuang dan rakyat Surabaya. Pada 10 November 1945, pasukan sekutu mulai membombardir Surabaya, dan pertempuran yang berlangsung sengit terus berlanjut hingga akhir November 1945.

Di tengah-tengah pertempuran, muncul sosok Bung Tomo. Pidato-pidatonya membangkitkan semangat juang para pejuang untuk terus bertahan di medan perang.

Melalui Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Bung Tomo menyampaikan orasi yang menggugah semangat, yang tidak hanya terdengar di seluruh Indonesia, tetapi juga menjangkau negara-negara lain seperti Thailand dan Australia.

Bung Tomo, yang berasal dari Blauran Surabaya, kemudian berjanji untuk tidak menikah sebelum Belanda diusir dari Indonesia, sebagai bentuk kesetiaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang revolusioner.

Selama pertempuran, keberadaan Bung Tomo sering berpindah-pindah, sehingga pihak sekutu tidak dapat mengetahui posisinya. Semangat yang ia berikan berhasil memotivasi para pejuang untuk terus maju dan berjuang dengan tekad yang kuat.

Bung Tomo wafat pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah saat sedang menjalankan ibadah haji, dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya.

Artikel ini ditulis oleh Firtian Ramadhani, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(hil/irb)


Hide Ads