Peringatan Hari Pahlawan Nasional 10 November tak bisa lepas dari sosok Bung Tomo. Ia memiliki peran sentral dalam membangkitkan semangat arek-arek Surabaya ketika melawan Belanda.
Peristiwa 10 November 1945 merupakan puncak dari kejadian pertentangan antara masyarakat Surabaya dan tentara sekutu Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) di bawah AWS Mallaby.
Mengutip buku Bung Tomo karya Abdul Waid, informasi datangnya AFNEI dikabarkan pertama kali oleh Menteri Amir Syarifuddin dari Jakarta. Namun, rakyat surabaya tidak begitu saja percaya termasuk Bung Tomo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengajak seluruh masyarakat Surabaya untuk berhati-hati seraya mencurigai kedatangan Inggris. Kedatangan Inggris dinilai sebagai upaya untuk mengembalikan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Menjelang kedatangan tentara Inggris di Surabaya, Drg Moestopo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI mengajak rakyat Surabaya untuk bersiap. Ia berteriak di sepanjang jalanan Surabaya, menyadarkan rakyat atas bahaya yang tengah mengancam.
Drg Moestopo juga memberikan ancaman melalui radio kepada tentara Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) agar jangan mendarat di Surabaya. Dengan lantang ia berucap, "Inggris! NICA! Jangan mendarat! Kalian orang terpelajar! Tahu aturan! Jangan mendarat! Jangan Mendarat."
Kehadiran NICA di balik tentara Inggris memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia. Terjadi pertempuran di mana-mana antara tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Bung Tomo Hadir Sejak Awal
Namun tentara Inggris tetap mendarat di pelabuhan Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945. Dua orang perwira staf Mallaby turun bermaksud mengajak Gubernur Soerjo dan wakil Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk berunding.
Gubernur Soerjo menolak undangan tersebut dan akhirnya memberi mandat kepada Moestopo untuk berunding dengan pihak Inggris. Ia didampingi oleh pejuang Surabaya dr Soegiri, pimpinan Polisi Istimewa Moh Jasin, dan Bung Tomo.
Perundingan itu tidak berhasil, Bung Tomo menjadi sosok yang paling menolak keinginan Mallaby. Karenanya perundingan dilanjutkan pada esok harinya yakni 26 Oktober di gedung Kayoon bekas gedung Konsulat Inggris.
Bung Tomo juga ikut hadir dalam pertemuan itu yang menghasilkan sebuah kesepakatan. Di mana pasukan Inggris yang datang tidak disusupi pasukan Belanda dan terbentuk Contact Bureau.
Kontrak itu menyebutkan bila tentara Jepang dilucuti senjatanya dan akan dipindahkan ke luar Jawa. Sedangkan pengawasan jatuh ke tangan Sekutu.
Kesepakatan itu juga menyebutkan bila pasukan Inggris diperbolehkan menggunakan beberapa gedung penting di kota Surabaya. Seperti Rumah Sakit Darmo, gedung Kayoon, gedung Internatio, dan gedung HBS.
Tetapi, ternyata Inggris menduduki sejumlah tempat strategis di luar perjanjian. Tindakan ini dianggap kurang ajar oleh Bung Tomo.
Bahkan tentara Inggris menangkap Moestopo untuk membebaskan kolonel PH Huijer, menyerbu penjara, hingga melucuti kesatuan polisi RI. Hal ini membuat Bung Tomo sangat marah.
Pada tanggal 27 Oktober, pasukan Brigjen Mallaby menuntut dan mengancam semua rakyat Surabaya agar menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan hasil rampasan dari Jepang kepada Inggris. AWS Mallaby juga mengatakan Kota Surabaya menjadi tanggung jawab Sekutu.
Karena hal ini, Bung Tomo mulai bersuara lantang dan menyebut tentara Inggris sebagai anjing yang tidak tahu diri. Peringatan dikeluarkan karena tuntutan Inggris tidak sesuai dengan perjanjian.
Tetapi Mallaby tidak menghiraukan amarah Bung Tomo dan seluruh rakyat Surabaya. Mallaby hanya mengatakan bahwa ia akan tunduk pada putusan atasan.
Pada 28 Oktober 1945, Bung Tomo mengajak semua rakyat Surabaya untuk merapatkan barisan. Mereka ingin mengambil tindakan tegas terhadap sikap Inggris.
Pertemuan diadakan di Markas Pertahanan yang juga Studio Radio Pemberontakan pimpinan Bung Tomo. Dalam pertemuan itu, sosok yang memiliki nama asli Sutomo itu mengajak semua yang hadir untuk melakukan perlawanan.
Hasilnya mereka sepakat untuk melancarkan serangan dengan perhitungan mumpung pasukan Inggris saat itu masih lemah dan terpencar-pencar. Serangan akan dilakukan pada pukul 05.00 pagi.
Rencana ini disiarkan melalui radio oleh Soemarsono selaku wakil badan Perjuangan Bersenjata dari PRI (Partai Rakyat Indonesia). Di siaran radio itu, Bung Tomo juga berpidato dan membangkitkan semangat rakyat Indonesia.
Sejak saat itu, pertempuran tentara Inggris dan rakyat Surabaya pertama terjadi. Dalam pertempuran itu, rakyat Surabaya sangat dominan dan berakhir pada Brigjen Mallaby tewas pada 30 Oktober 1945.
Pidato Bung Tomo 10 November 1945
Kematian Brigjen Mallaby menjadi awal mula peperangan yang jauh lebih dahsyat. Di bawah pimpinan Mayor Jenderal Mansergh, Inggris mengerahkan 15 ribu pasukan.
Ia mengeluarkan ultimatum agar seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 dan meminta masyarakat bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby.
Tidak cukup sampai di sana, Mansergh juga meminta semua anak dan wanita meninggalkan kota pukul 19.00 malam. Ia juga memberikan ancaman mati bagi setiap orang yang membawa senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.
Apabila ultimatum tidak dipatuhi, maka Inggris akan menyerang Surabaya pada tanggal 10 November dari darat, laut, dan udara. Mengenai hal ini, pemimpin Surabaya termasuk Bung Tomo meminta keputusan kepada Soekarno yang kemudian menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada rakyat Surabaya.
Bersama-sama dengan rekannya, Bung Tomo membangkitkan semangat seluruh rakyat Surabaya untuk melawan pasukan Inggris dan NICA. Pada 9 November 1945 pukul 23.00 Gubernur Soerjo menyiarkan bila seluruh rakyat Surabaya akan melawan tentara Sekutu sampai mati.
Dengan semangat membara, Bung Tomo juga menyerukan pergerakan melalui pidatonya yang terkenal. Potongan pidato ini berbunyi:
"Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia. Hai Inggris, selama banteng-banteng, pemuda-pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan menyerah...."
"Teman-temanku seperjuangan, terutama pemuda-pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperah, diinjak-injak...."
Ia juga menyerukan:
"Maju terus pantang mundur! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! MERDEKA!!!"
Kala itu, Surabaya mendapat julukan "neraka" karena mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat sipil menjadi korban dan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kotanya. Tak hanya warga Indonesia, prajurit Inggris juga dikabarkan tewas, hilang, dan luka-luka dengan jumlah 1.600 orang.
Karena banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat menjadi korban, pada tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap tahunnya.
(det/nwk)