Menjelang hari raya Waisak, ada beberapa tradisi yang biasanya dilakukan umat Buddha. Salah satunya tradisi pindapata. Lantas apa itu tradisi pindapata? Yuk simak penjelasannya di bawah ini.
Hari raya Waisak erupakan hari suci yang diperingati oleh seluruh umat Buddha. Waisak diperingati pada waktu terang bulan atau Purnama Sidhi untuk memperingati Tri Suci Waisak yang mengandung tiga peristiwa penting, yaitu kelahiran, penerangan agung, dan kematian Buddha Gautama.
Apa Itu Pindapata?
Dilansir dari jurnal Universitas Multimedia Nusantara, pindapata merupakan tradisi umat Buddha yang biasanya dilakukan ketika hari besar agama Buddha. Tradisi ini telah dilakukan sejak kehidupan Sang Buddha hingga saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pindapata berasal dari bahasa Pali, gabungan dari dua suku kata yakni pinda dan patta. Pinda memiliki arti makanan. Sementara Pata artinya mangkuk makanan.
Pindapata berarti tradisi pengumpulan makanan dengan mangkuk yang dilakukan para anggota Sangha. Ini dilaksanakan dengan cara berjalan kaki serta membawa mangkuk makanan untuk menerima dana dari umat.
Sementara Instagram Waisak Nasional menjelaskan, pada zaman Sang Buddha dahulu kala, patta terbuat dari sejenis labu yang disayat bagian atasnya, lalu dikerok dan dibuang bagian tengahnya.
Bagian kulitnya dikeringkan sehingga membentuk seperti mangkuk besar. Mangkuk ini digunakan bhikkhu dan bhikkhuni untuk menerima sumbangan makanan dari umat. Patta jenis ini mudah rapuh dan pecah sehingga diganti dengan bahan logam seperti tembaga, kuningan, aluminium, dan lainnya dalam berbagai ukuran.
Prosesi Tradisi Pindapata
Tradisi Pindapata dimulai dengan para bhikkhu mempersiapkan diri seperti mempersiapkan jubah dan patta (mangkuk). Selain itu, pada saat memulai berjalan untuk melakukan pindapata, bhikku sangha melafalkan terlebih dahulu paritta, sutta, dan gahta.
Hal tersebut dilakukan supaya selama berlangsung tradisi ini tidak ada rintangan yang membahayakan diri sendiri maupun makhluk lainnya. Setelah persiapan tersebut, para bhikku berjalan keluar vihara untuk memulai tradisi pindapata.
Bhikku yang mempunyai usia penahbisan atau masa vasa lebih lama berjalan paling depan. Selanjutnya diikuti bhikku yang lebih muda masa vasanya. Ini sesuai aturan kehidupan kebhikkuan. Tujuannya sebagai bentuk bakti atau hormat kepada bhikku dengan usia vasa lebih tua karena dianggap sudah memiliki pengetahun dan perilaku lebih baik.
Selama perjalanan menuju rumah umat bhikkhu, mereka harus menjaga perilakunya. Pandangan seorang bhikku ketika berjalan hanya sekitar 3 meter ke depan. Seorang bhikkhu tidak diperbolehkan berjalan seperti umat awak yakni kepala tegak dan badan dibusungkan.
Nantinya para umat Buddha akan berdiri di sepanjang jalan yang dilewati para biksu untuk memberi sedekah. Mereka memberi sedekah berupa makanan, uang, atau makanan pokok sehari-hari para biksu.
Makna Tradisi Pindapata
Tradisi Pindapata menjadi sebuah refleksi atas kesediaan umat untuk berbuat kebajikan. Untuk umat Buddha, tradisi ini merupakan kewajiban dan dianjurkan untuk dilakukan sebagai bentuk menolong siapa saja yang membutuhkan.
Sedekah umat kepada para biksu juga menjadi simbol perbuatan baik yang diajarkan Sang Buddha. Tradisi pindapata mengadopsi kebiasaan masyarakat Buddha di Thailand yang memberikan sedekah kepada para biksu setiap hari.
Bagi para bhikkhu dan bhikkhuni, pindapata merupakan cara melatih diri utnuk hidup sederhana, perhatian, dan merenung. Terutama merenungkan fungsi utama makanan adalah untuk memenuhi kebutuhan badan jasmani agar tidak cepat sakit dan lapuk, bukan untuk kesenangan dan mencari kenikmatan.
Artikel ini ditulis oleh Allysa Salsabillah Dwi Gayatri, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(irb/fat)