Video puluhan orang tergabung dalam Paguyuban Jukir Surabaya (PJS) berorasi menolak pembayaran parkir nontunai atau dengan QRIS viral di medsos. Video itu diunggah sejumlah akun media sosial.
Dalam video yang beredar itu salah satu orator menyampaikan penolakan yang ditujukan kepada Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Mereka kompak tak mau pembayaran parkir nontunai.
"Yang terhormat Bapak Wali Kota Surabaya kami Paguyuban Jukir Surabaya mewakili jukir seluruh Kota Surabaya, dalam hal ini menyampaikan bahwa juri parkir Kota Surabaya menolak pembayaran nontunai berada di Surabaya. Juru Parkir Kota se-Surabaya menolak pembayaran nontunai di Kota Surabaya," teriak orator di video itu dilihat detikJatim, Senin (15/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekali lagi seluruh jukir di Surabaya menolak pembayaran tunai di Surabaya. Terima kasih Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya. Merdeka!" Tambahnya.
Sementara itu, pantauan detikJatim di Jalan Tunjungan hari ini tidak ada parkir liar di tepi jalan umum (TJU) maupun di atas trotoar. Banyak petugas Dishub yang menjaga sejumlah titik TJU dan trotoar di sana.
Salah satu jukir di Jalan Tunjungan bernama Faisal (24) mengaku tidak setuju dengan sistem digitalisasi Dishub Surabaya. Dengan sistem bagi hasil itu, menurutnya para jukir dapat hasil yang sedikit dibandingkan tunai.
"Menyusahkan, soale teka (sebab dari) Dishub 70%, aku 30%. Misal oleh (dapat) Rp 200 ribu, aku oleh Rp 60 ribu, Dishubnya Rp 160 ribu," kata Faisal saat ditemui di Jalan Tunjungan.
Selama ini, jukir setor uang parkir ke Dishub secara langsung senilai Rp 40 ribu per shift dalam kondisi sepi maupun ramai. Bila sehari uang parkir yang masuk Rp 150 ribu, maka yang akan disetor ke Dishub Rp 40 ribu sedangkan jukir mendapatkan Rp 110 ribu.
"Ramai mesti, Sabtu malam Minggu bisa Rp 200 ribu per hari. Motor Rp 2 ribu, mobil Rp 5.000. Karcis kadang-kadang ada yang minta dikasih, kalau nggak ya nggak. Kalau nggak ada ya bilang maaf nggak ada," ceritanya.
Dia mengaku sistem pembayaran QRIS ini tidak ada rundingan antara jukir dengan Dishub. Kemudian, pada Senin (8/1) malam langsung menggunakan QRIS sehingga terjadi penolakan dari sejumlah jukir.
Jukir di Jalan Tunjungan menginginkan tidak ada sistem pembayaran nontunai. Meski tarif yang disetorkan ke Dishub naik, mereka bersedia asal tidak menerapkan nontunai.
"Langsung ditolak. Manual ae (manual saja/tunai), kalau bisa nggak pakai QRIS. Kalau mau dinaikkan aja setorannya. Naik nggak apa-apa, tergantung Dishub. Pengene (inginnya) 70%, buat Dishub 30%. Sing kerjo iki aku, Dishub meneng ae (yang kerja ini aku, Dishub diam saja)," ujarnya.
Kepala UPT Parkir Tepi Jalan Umum Dishub Surabaya, Jeane Taroreh menjelaskan sistem bagi hasil dalam skema pembayaran nontunai QRIS ini sebenarnya lebih menguntungkan jukir. Yakni 40% untuk jukir, 60% untuk Dishub Surabaya.
"Seperti yang kami sampaikan 60/40. 60% Untuk pemerintah, 40% dibagi, 5% untuk katar (koordinator parkir) dan 35% untuk jukir. Sebelumnya 70/30. 30% terbagi dari 10% katar dan 20% jukir dan 70% pemkot," ujar Jeane.
Dengan bagi hasil ini, kata Jean, jukir mendapat penambahan sebesar 15% dari sebelumnya dapat 20%. Pendapatan parkir yang masuk ke pemkot justru turun 10%, dari semula masuk PAD 70% menjadi 60%.
"Saya sampaikan dari UPT parkir melakukan kebaikan, peningkatan kesejahteraan jukir dari 20% menjadi 35%," ujarnya.
Namun, kata Jeane, jukir malah tidak puas dengan kebijakan baru ini dan ramai-ramai menolak pembayaran parkir non tunai. Apapun suara jukir, Jeane menegaskan pemkot akan tetap menerapkan parkir nontunai dengan QRIS mulai bulan depan di 1.370 titik.
(dpe/fat)