Kasus kejahatan seksual terhadap anak di Kabupaten Mojokerto mengalami peningkatan. Ironisnya, mayoritas pelaku merupakan orang dekat korban. Perbuatan mereka menyebabkan para korban mengalami trauma.
Kasus kejahatan seksual terhadap anak tahun ini di Bumi Majapahit naik dari sudut pandang aparat penegak hukum maupun pemda. Kasipidum Kejari Kabupaten Mojokerto Nala Arjhunto mengatakan, pihaknya menangani 13 perkara sepanjang 2022. Sedangkan tahun ini, terdapat 14 perkara yang ia tangani.
Menurutnya, para pelaku tak selalu berusia dewasa. Sebab jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan seksual terhadap anak sama banyaknya dengan pelaku dewasa. Sedangkan para korban mayoritas berusia 14-16 tahun, tapi ada juga korban berusia di bawah itu.
"Hubungan pelaku dengan korban ada orang tua dengan anak, ada juga paman dengan keponakan. Iya, didominasi orang dekat. Hubungan pacaran dan tetangga juga termasuk orang dekat," terangnya kepada detikJatim di kantornya, Jalan RA Basuni, Sooko, Rabu (20/12/2023).
Perkara pencabulan dan persetubuhan tersebut, lanjut Nala, biasa terjadi di tempat sepi. Antara lain di rumah pelaku, rumah korban, bahkan di pinggir sungai. Oleh sebab itu, menurutnya sangat rawan ketika anak luput dari pengawasan orang tuanya.
"Faktor pendorongnya pelaku sering menonton video porno. Kedua, kebutuhan biologisnya tidak tersalurkan dengan baik. Ketiga, pengawasan orang tua terhadap anak korban juga kurang," ujarnya.
Sebagai unsur aparat penegak hukum (APH), kata Nala, Kejari Kabupaten Mojokerto berupaya memberi efek jera kepada para pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Yaitu dengan selalu mengajukan tuntutan di atas 10 tahun penjara kepada pelaku dewasa. Ketika vonis hakim kurang dari dua per tiga tuntutan, pihaknya selalu mengajukan banding.
"Tentunya untuk memberi efek jera dan melindungi masyarakat. Juga biar calon-calon pelaku tahu kalau melakukan seperti itu kalau tertangkap hukumannya sangat tinggi. Sehingga mereka tidak melakukan," jelasnya.
Lain halnya pemidanaan terhadap pelaku yang tergolong anak atau anak berkonflik dengan hukum (ABH). Menurut Nala, hukum memandang ABH juga sebagai korban, seperti pengaruh lingkungan, pergaulan dan sebagainya. Pemidanaan terhadap anak berpedoman pada UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
"Kalau dia masih sekolah, apalagi kalau sudah ada perdamaian dengan keluarga korban, mungkin penjara itu hal yang terakhir. Bisa pembinaan di LPKS, biar mereka bisa melanjutkan pendidikannya," cetusnya.
Dari sudut pandang pemerintah, kasus kejahatan seksual terhadap anak di Kabupaten Mojokerto tahun ini juga naik. Bidang Perlindungan Anak DP2KBP2 Kabupaten Mojokerto mendampingi 19 korban dan pelaku anak sepanjang 2023. Sedangkan tahun lalu, mereka mendampingi 17 pelaku dan korban.
"Dari 19 itu, 12 korban dan 7 pelaku. Baik korban maupun pelaku perlu dilindungi. Karena pelaku anak bisa saja karena korban salah asuh orang tuanya. Sehingga anak-anak kami anggap korban semua," ungkap Kabid Perlindungan Anak DP2KBP2 Kabupaten Mojokerto, Ani Widiastuti.
(abq/iwd)