Tersembunyi di balik lanskap alam Kabupaten Pasuruan, tepatnya di antara Desa Sumberdawesari, Ranuklindungan, dan Gratitunon, terdapat sebuah danau alami seluas 198 hektare bernama Ranu Grati. Danau ini menawarkan pemandangan menenangkan yang berpadu dengan latar Pegunungan Tengger yang megah.
Keindahannya tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga menghadirkan berbagai aktivitas wisata seperti memancing, bersepeda air, hingga berkeliling dengan perahu wisata. Namun, Ranu Grati bukan sekadar destinasi alam. Setiap riak airnya menyimpan kisah legendaris yang telah turun-temurun diceritakan masyarakat setempat.
Lokasinya yang strategis, hanya sekitar 5 menit dari pertigaan Sumurwaru Grati, membuat danau ini mudah dijangkau wisatawan. Mereka yang datang tidak hanya diajak menikmati panorama alam, tetapi juga merenungi cerita masa lalu yang membentuk identitas danau ini. Lalu, bagaimana legenda Ranu Grati bermula?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Legenda Ranu Grati
Dilansir dari artikel jurnal karya Naila Nilofar berjudul "Cerita Rakyat Kabupaten Pasuruan Asal Muasal Ranu Grati: Kajian Strukturalisme Levi-Strauss", legenda Ranu Grati berpusat pada kisah tentang murkanya alam akibat perbuatan manusia. Cerita rakyat ini mengisahkan tiga tokoh utama.
Ialah Endang Sukarni, putri Kerajaan Mataram, Begawan Nyampo, seorang pertapa sakti, serta Baru Klinting, putra mereka yang lahir sebagai naga bersisik.
Wisata Ranu Grati Pasuruan Foto: Muhajir Arifin |
Pada masa lampau, hiduplah sebuah desa bernama Kademangan Klindungan, desa tenteram yang dikelilingi hutan lebat. Suatu hari, seorang wanita cantik bernama Endang Sukarni datang ke desa itu.
Ia melarikan diri dari kekacauan yang menimpa Kerajaan Mataram. Dalam pelariannya, ia bertemu Begawan Nyampo, dan akhirnya mengabdi sebagai murid sekaligus pelayan sang pertapa.
Endang Sukarni hidup dalam ketenangan hingga sebuah peristiwa di luar dugaan mengubah segalanya. Suatu hari, secara tidak sengaja Begawan Nyampo melihat betis Endang Sukarni yang tersingkap.
Dari kejadian itu, keluar air suci yang tiba-tiba berubah menjadi sebuah pisau kecil. Pisau itu diberikan kepada Endang Sukarni dengan satu larangan tegas, ia dilarang meletakkannya di pangkuan.
Namun, larangan itu pada akhirnya dilanggar. Ketika pisau itu hilang, tubuh Endang Sukarni berubah, perutnya membesar dan sembilan bulan kemudian ia melahirkan bayi berwujud ular naga bersisik, dilengkapi ekor dengan lonceng kecil (klintingan).
Bayi ini diberi nama Jaka Baru, namun lebih dikenal dengan sebutan Baru Klinting. Karena malu dan takut dengan wujud anaknya, Endang Sukarni dan Begawan Nyampo berusaha menyingkirkan Baru Klinting.
Ia diberi berbagai misi berbahaya, termasuk bertarung dengan buaya putih yang ternyata sepupunya sendiri. Meski berbagai cara dilakukan, Baru Klinting selalu berhasil lolos.
Suasana danau Ranu Grati Pasuruan Foto: Muhajir Arifin |
Akhirnya, kedua orang tuanya memerintahkannya untuk bertapa di tengah hutan. Baru Klinting pun patuh. Ia melakukan semedi hingga wujudnya berubah menjadi ular besar.
Pada saat yang sama, Desa Kademangan Klindungan mengalami kemarau panjang. Warga yang kelaparan berburu ke hutan dan menemukan tubuh Baru Klinting yang sedang bertapa.
Karena tidak mengenali siapa sebenarnya ular itu, mereka membunuhnya dan memasak dagingnya untuk pesta pora. Di tengah pesta, hanya seorang nenek tua yang menolak memakan daging tersebut. Sikapnya kelak menyelamatkan hidupnya.
Mendengar perlakuan keji warga terhadap anaknya, Endang Sukarni murka. Ia datang ke desa membawa sebatang lidi dan menantang penduduk, siapapun yang mampu mencabut lidi itu akan selamat. Satu per satu mencoba, namun tak ada yang berhasil.
Pemandangan Ranu Grati dari udara Foto: Istimewa (dok.Instagram @danauranugrati) |
Dengan penuh kemarahan, Endang Sukarni mencabut lidi itu sendiri. Seketika, dari lubang bekas tancapan lidi memancar air yang sangat deras. Arus air itu tak terbendung, meluap dengan cepat, dan akhirnya menenggelamkan seluruh desa beserta penduduknya.
Air luapan itu kemudian membentuk sebuah danau yang kini dikenal sebagai Ranu Grati. Legenda ini menjadi pengingat bahwa kesombongan, ketamakan, dan perlakuan buruk kepada sesama dapat membawa bencana besar.
Bagi masyarakat Pasuruan, legenda Ranu Grati bukan sekadar dongeng turun-temurun. Kisah ini diyakini sebagai simbol pentingnya menjaga perilaku dan menghormati alam.
Ranu Grati kemudian menjadi destinasi yang bukan hanya cantik dipandang, tetapi juga sarat nilai moral. Danau ini terus menjadi tujuan favorit wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam.
Namun tidak hanya itu, tetapi sekaligus untuk mengenal lebih dekat cerita budaya setempat. Keberadaan Ranu Grati membuktikan bahwa alam, sejarah, dan legenda dapat berpadu menciptakan ruang wisata yang unik dan penuh makna.
Artikel ini ditulis oleh Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)














































