Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menyampaikan pendapatnya soal fenomena sikap pragmatis dan apolitis yang berkembang pada anak muda. Hal ini lantaran kaum pemuda masa kini merasa pemerintah tidak berpihak pada generasi mereka.
"Ada keterkaitan dan benang merahnya. Perilaku politik demikian dari kaum anak muda kadang kala dikarenakan mereka merasa pemerintah kok tidak memperhatikan anak muda," ungkap Emil saat menjadi panelis konferensi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Selasa (14/3/2023)
Emil menyebut sikap pragmatis atau membuat penilaian dan menentukan pilihan secara instan bukan hanya dipengaruhi money politic saja, melainkan juga informasi yang setengah-setengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pragmatis bisa berdasarkan money politic, pragmatis bisa berdasarkan pandangan superfisial di mana mereka tidak mau menggali suatu topik secara substantif tetapi justru melalui media sosial. Hari ini anak muda lihat Instagram bukan baca caption-nya, apalagi kalau terlalu panjang. Kalau reels baru ditonton," ujarnya.
"Jadi jangan hanya berpikir, pragmatisme anak muda itu murni karena masalah uang saja. Ada uang, maka pilihan beres. Tapi pilihan instan itu juga bisa terbentuk karena mereka terjebak politik kebencian yang disebabkan disinformasi dan informasi parsial," imbuhnya.
Emil pun menyoroti bahwa informasi parsial dan juga disinformasi menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat.
"Pemahaman melalui informasi parsial ini adalah sebuah tantangan bagi perkembangan kita semua. Ini bahaya sekali manakala suatu narasi atau ide yang kompleks tersampaikan secara setengah-setengah. Apalagi, masalah yang kompleks perlu dinalar dengan tepat," lanjutnya.
Oleh karena itu, Emil menjawab tantangan ini dengan meritokrasi, di mana rekam jejak dan prestasi seorang tokoh politik menjadi hal yang mampu menjawab keraguan kalangan muda.
Baca halaman selanjutnya
Emil mengajak para audiens muda dalam forum tersebut untuk mempertimbangkan rekam jejak para tokoh politik dan bagi para tokoh politik untuk menunjukkan sepak terjang yang baik pada bidangnya. Menurut Emil, kinerja baik adalah inti dari meritokrasi.
"Meritokrasi ini memperhatikan rekam jejak seseorang. Apa pencapaian yang mereka upayakan dan lakukan sendiri. Harus dilihat betul, jadi nggak bisa mengukur rekam jejak hanya berdasarkan video 30 detik dan 1 menit," jelasnya.
Tak berhenti di situ, Emil menekankan bahwa proses meritokrasi ini tentunya perlu diimbangi aksi turun dan berkomunikasi langsung dengan anak muda. Jangan sampai proses komunikasi ini diabaikan karena proses meritokrasi yang dibangun tidak akan dirasakan.
"Sekarang pertanyaannya, saya sebagai policy maker, apa yang bisa saya lakukan? Jangan sampai anak muda merasa pemerintah nggak hadir. Bersentuhanlah dengan mereka, berkomunikasilah dengan mereka," ungkapnya.
"Nah ini bagaimana kemudian kita anak-anak muda merasa kebijakan pemerintah tidak berdampak pada dirinya maka dia akan pragmatis dan meritokrasi akan terkesampingkan," sambungnya.
Sebagai contoh, Emil memaparkan bagaimana Milenial Job Center (MJC) menjadi salah satu contoh feedback dua arah dari anak muda pada pemerintah dan selanjutnya. MJC Jatim sendiri telah melibatkan 7.000 proyek yang membuka peluang-peluang kerja baru bagi anak muda di Jatim melalui efek bola saljunya
"Kalau kita hitung jumlah dari project MJC ini 7.000 proyek yang melibatkan ribuan talenta. Di sisi lain kami selalu membuka kanal komunikasi dengan teman-teman muda supaya mereka bisa memahami situasi, termasuk MJC ini.
Simak Video "Video Emil Dardak: Jatim Sumbang Lebih dari 17,4% Produksi Gabah Se-RI"
[Gambas:Video 20detik]
(hil/dte)