Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan kajian bencana tanah gerak di Kabupaten Blitar. Hasilnya, tiga desa di wilayah terdampak dinyatakan tidak aman untuk hunian.
Ketiga desa itu terletak di tiga kecamatan yang berbeda. Lokasi pertama, di Dusun Sumberasri, Sumber Urip dan Sumberejo di Desa Purworejo Kecamatan Wates. Lokasi kedua, Dusun Kalitengah dan Desa Balerejo Kecamatan Panggungrejo . Dan lokasi ketiga, Desa Maron Kecamatan Kademangan.
Penyelidik Bumi Muda PVMBG, Badan Geologi, Kementerian ESDM, Kabir M. Suryadana memaparkan, sebagian besar gerakan tanah yang terjadi di wilayah Kabupaten Blitar bagian selatan berupa jenis rayapan (lambat). Fenomena ini ditandai adanya retakan. Namun bisa berubah menjadi tipe longsoran rotasi (cepat) apabila faktor pemicunya yang sangat kuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Potensi gerakan tanahnya skala besar. Lokasinya berada di zona tangkapan air. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir yang lokasinya di lembah," papar Kabir kepada detikJatim, Minggu (13/11/2022).
Kabir juga menyebut, jika curah hujan di atas normal, gerakan tanah lama dapat aktif kembali. Gerakan tanah sebagian besar berupa retakan yang membentuk setengah
lingkaran/tapal kuda. Di beberapa titik sudah berkembang menjadi nendatan, longsoran rotasi (tipe cepat). Bahkan di lokasi terdampak paling parah, gerakan tanah terjadi di morfologi lembah (catcment area). Sehingga air permukaan terakumulasi di lokasi
tersebut.
"Ini masih awal musim hujan ya. Kalau hujan masih turun dengan intensitas tinggi, masih berpotensi terjadinya gerakan tanah susulan. Jadi ada dua desa yang sudah tidak aman untuk hunian. Yakni di Sumberasri, Wates dan Maron, Kademangan," jelasnya.
Lokasi tanah gerak tersebut kondisi geologinya berupa tanah pelapukan dari batu gamping (limestone) dan tuf yang cukup tebal. Dengan karakter mudah larut, gembur dan banyaknya kekar (fracture) pada batuan sehingga menjadi mudah lepas/hancur.
Tim kajian Badan Geologi ini juga melihat tata guna lahan berupa lahan pertanian dengan vegetasi yang didominasi oleh tanaman yang berakar pendek (palawija) sehingga tidak bisa mengikat tanah.
"Nah di lokasi itu minim struktur perkuatan lereng atau tanaman kuat berakar dalam. Sebagian besar penduduk menanami lahannya dengan tebu dan jagung. Sebaiknya segera diganti dengan pohon produktif yang akarnya lebih kuat seperti pohon buah-buahan," imbuhnya.
Dari penyelidikan dan kajian yang dilakukan hampir sepekan di lima Kecamatan. Yakni Wates, Panggungrejo, Binangun, Bakung dan Kademangan, tim Badan Geologi merekomendasikan tiga hal. Pertama, Pemkab Blitar segera merelokasi warga yang tinggal di dua desa yang dinyatakan tak aman untuk hunian. Di lokasi lain yang terdampak harus dibuatkan saluran air yang tertata sehingga memininalisir masuknya air di celah-celah permukaan tanah. Opsi lain, membuat terasiring pada lahan produktif terutama yang lokasinya di lembah.
Kedua, membuat rekayasa teknis seperti tembok penahan tanah (TPT) atau perkuatan lereng pada tebing sesuai dengan kaidah geologi teknik. Dinding penahan disarankan menembus batuan dasar/keras dan dilengkapi dengan lubang air dan parit atau selokan kedap air untuk aliran air permukaan.
"Ketiga, ini untuk mitigasi bencana jangka panjang. Warga harus menyelamatkan tanahnya dengan menanami pohon-pohon yang berakar kuat. Sehingga ketika hujan deras turun, tanah itu kuat terikat di akar-akar pohon itu. Tidak langsung meluncur ke bawah seperti yang terjadi sekarang," pungkasnya.
Hasil kajian Badan Geologi Kementerian ESDM telah diterima Pemkab Blitar. Berbagai stakeholder telah berkumpul untuk mengkoordinasikan realisasi rekomendasi tersebut. Kalaksa BPBD Kabupaten Blitar, Ivong Bertyyanto mengatakan ada dua skenario yang akan dilakukan Pemkab Blitar.
Soal relokasi, Ivong menyatakan terkendala lokasi yang akan digunakan. Opsi pertama menggunakan lahan warga terdampak yang berada di lokasi lain. Kedua, memakai tanah kas desa. "Kami akan merealisasikan hunian sementara (huntara). Ini bisa memakai lahan mereka di lokasi lain. Bisa juga menggunakan tanah kas desa. Ketiga, lahannya Perhutani, tapi ini prosesnya lama," ungkap Ivong, Minggu (13/11/2022).
Kendala lain yang dihadapi BPBD, pemahaman warga yang akan direlokasi masih kurang karena alasan ekonomi. Mereka tidak bisa produktif karena letak huntara lokasinya jauh dari lahan garapan. Selain itu, sosio kultural warga terdampak di lokasi tanah gerak , butuh proses lama untuk beradaptasi di lokasi huntara.
"Untuk rekomendasi kedua berupa rekayasa teknis, itu butuh dana yang sangat besar. Harus masang paku bumi itu. Seperti jalan ke arah Pantai Pasur itu, sudah diperbaiki tapi retak dan ambrol lagi. Ya harus membuat jalan di lokasi lain. Tapi itu tidak dipahami warga sekitar," ungkapnya.
Bencana tanah gerak berpotensi terjadi di 19 kecamatan di Kabupaten Blitar. Selama awal musim hujan, sudah lima kecamatan yang terdampak parah. Menurut Ivong, bencana tanah gerak tidak sama dengan banjir atau kebakaran yang cepat usai. Namun butuh penanganan secara massif yang mempunyai efek domino.
Hal yang penting yang harus dipikirkan dan direalisasikan sekarang adalah perubahan pola tanam di wilayah perbukitan Blitar selatan. Ivong tak memungkiri, perbukitan wilayah selatan Kabupaten Blitar yang dulu kawasan hutan jati, telah berubah menjadi lahan tebu dan jagung.
"Secara ekonomi jangka pendek memang menguntungkan. Tapi jangka panjangnya, akan sangat merugikan dan membahayakan jiwa. Kalkulasi jangka panjang ini yang harus kita realisasikan sekarang. Kalau dibiarkan, gak cuma rumah dan lahan garapan yang hilang. Tapi nyawa juga melayang," pungkasnya.
Simak Video "Badan Geologi Ingatkan Potensi Bahaya Gunung Tangkubanparahu"
[Gambas:Video 20detik]
(dpe/iwd)