Bencana Tanah Gerak di Brebes, ESDM Jateng: Daerah Tak Bagus untuk Hunian

Bencana Tanah Gerak di Brebes, ESDM Jateng: Daerah Tak Bagus untuk Hunian

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Kamis, 24 Apr 2025 12:38 WIB
Warga melihat rumah yang rusak dan amblas sedalam 3 meter akibat tanah bergerak di Dukuh Krajan, Desa Mendala, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah, Selasa (22/4/2025). Berdasarkan data BPBD Brebes sebanyak 114 rumah rusak berat dan rusak ringan, tiga fasilitas umum dan dua fasilitas pendidikan rusak serta 439 jiwa terdampak akibat bencana tanah bergerak yang melanda desa tersebut. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/tom.
Penampakan Rumah Rusak Akibat Bencana Tanah Bergerak di Brebes Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Semarang -

Bencana tanah gerak di Desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Kabupatem Brebes, terus meluas. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah (Jateng) mengungkap bahwa kawasan tersebut secara geologi memang tidak layak untuk permukiman.

Hal ini diungkapkan Kepala ESDM Jateng, Boedya Dharmawan. Ia mengatakan, Kecamatan Sirampog berada di formasi lambatan, yang cirinya tanahnya punya swell factor tinggi, alias mudah mengembang saat terkena air, dan merekah saat kering.

"Kayak masak nasi kalau kebanyakan air jadi bubur. Kalau kurang air dia merekah, rekah di dalam tanah. Jadi sebenarnya daerah yang pada formasi itu tidak bagus untuk hunian," kata Boedya saat dihubungi awak media, Kamis (24/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, selama musim hujan panjang, air yang meresap ke dalam tanah mengakumulasi tekanan. Ketika mencapai titik kritis, tanah mengembang dan memicu pergerakan.

Tanah yang mengembang karena kelebihan air itu, kata Boedya, akan menimbulkan tekanan dari dalam. Tekanan itu yang menyebabkan tanah bergerak dan menggeser struktur bangunan di atasnya.

ADVERTISEMENT

"Tapi kan ini masyarakat kan huniannya sudah lama di daerah tersebut. Jadi memang sekali lagi sebenarnya daerah itu tidak bagus untuk permukiman kalau ada permukiman baru," jelasnya.

Ia menekankan, solusi jangka panjang adalah relokasi warga ke daerah yang aman secara geologi. Namun, jika itu belum memungkinkan karena faktor sosial dan budaya, seperti keterikatan warga pada tanah kelahiran, maka strategi jangka pendek perlu segera dilakukan.

"Kalau permukiman yang sudah lama, sudah berlanjut, memang tanah kelahirannya. Upaya memperkecil terjadinya gerakan tanah ya dengan cara ini mengatur, mengendalikan air. Air di sana jangan sampai mudah meresap ke dalam tanah," imbuh dia.

Strategi penanggulangan bencana di Sirampog justru bertolak belakang dengan praktik konservasi air biasa. Lanjut Boedya, jika pemerintah mendorong air hujan di daerah lain diserap tanah untuk menambah cadangan air tanah, hal itu justru memperbesar risiko gerakan tanah di Sirampog.

"Jangan sampai dilakukan di sana, harus dihindari masuknya air ke tanah. Karena menambah air di dalam tanah menyebabkan swell factor tinggi sehingga mengembang," paparnya.

"Kalau mengembang, bergerak pasti bangunan di atasnya bergerak. Kalau yang skala kecil bangunannya, pondasinya, retak, tapi masih wujud, utuh. Kalau air besar yang masuk ke tanah, retaknya lebih besar, bisa runtuh, rumahnya juga hancur," lanjutnya.

Menurutnya, alih-alih untuk pemukiman baru, kawasan itu lebih cocok diperuntukkan sebagai lokasi wisata yang tidak memberi beban lebih besar terhadap tanah di daerah tersebut.

"Sebenarnya kalau daerah itu cocoknya untuk wisata, area yang tidak banyak memberikan beban kepada daerah tersebut. Misal kayak pondok-pondokan. Peruntukannya jangan permukiman, karena jiwanya banyak," ungkapnya.

"Itu kawasan regional. Jadi di peta geologi sebenarnya sudah ada, terpetakan daerah tersebut yang memiliki formasi lambatan. Tinggal nanti dioverlay-kan," sambungnya.

Meski sudah dilakukan sosialisasi sejak lama, ia mengakui tantangan terbesarnya adalah mengubah pemikiran masyarakat. Lantaran tanah tersebut merupakan tanah kelahiran masyarakat.

"Ada solusi relokasi, itu harus di daerah yang tidak memiliki struktur tanah yang sama. Karena kalau sama ya sama saja bohong. Harus dikaji lokasi calon relokasinya," tegasnya.

"Itu seandainya disepakati seluruh pihak, masyarakat dan pemerintah. Tapi untuk sementara belum tercapai kesepakatan itu, karena harus ada betul-betul disadarkan masyarakatnya," imbuh Boedya.

Diketahui, bencana tanah gerak terjadi di Desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Brebes, sejak Kamis (17/4). Bencana yang telah merusak ratusan rumah dan membuat penghuninya harus mengungsi ke tempat aman itu terus meluas.

Berdasarkan informasi yang diterima, warga yang mengungsi berasal dari Desa Mendala Kecamatan Sirampog yakni; Dukuh Krajan-RT 05 dan 06; Dukuh Karanganyar RT 04; Dukuh Babakan RT 05; dan Dukuh Cupang Bungur RT 06.




(apu/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads