Terowongan air Sanbasri merupakan terowongan sepanjang 550 meter yang dibangun mandiri oleh warga pada tahun 1949. Berkat terowongan ini, aliran air dari Sungai Logawa, bisa mengalir hingga ke Desa Kalisalak dan lima desa lain.
Sejarah panjang pembangunan terowongan saluran air itu tak lepas dari Sanbasri, seorang petani yang kini ditokohkan karena memiliki ide untuk membangun terowongan saluran agar air dinikmati warga desa. Bersama tujuh orang lainnya yakni Tadirana, Sadirana, Sanwiraji, Sumardi, Ngalireja, lurah Darwan (lurah pertama), Sanbesari, mereka mencari solusi kesulitan warga mengairi sawahnya.
Cucu Sanbasri, Husendri (47) menceritakan kisah pembangunan terowongan saluran air tersebut berdasarkan beberapa cerita yang didapatnya dari orangtuanya maupun dari sang kakek yang telah meninggal pada 2013 lalu.
"Dia (Sanbasri) dulu aktivitasnya ke hutan, saat ke hutan biasanya ambil kayu bakar atau rotan, jadi melihat daerah sini kering. Kenapa di aliran Sungai Logawa itu alirannya besar, tapi sini kekurangan air, jadi mungkin akhirnya berupaya bagaimana caranya air itu bisa masuk atau bisa ngalir kesini. Dulu disini rata-rata tanaman padi, tapi tadah hujan, panen setahun sekali," kata Husendri.
![]() |
Akhirnya Sanbasri berkoordinasi dengan lurah pertama di Desa Kalisalak, lalu bersama kawan-kawannya, akhirnya berencana membuat terowongan saluran air sampai terlaksana. Cerita sejarah itu diakuinya sudah seperti dongeng orangtua di desa tersebut, karena cerita itu selalu diceritakan secara turun temurun secara lisan.
"Cuma tahu pertama itu tahun 1949 selesai 1956, itu ceritanya. Lalu dikerjakan siang malam selama 24 jam, walaupun dekat di situ, tapi kadang mereka sampai seminggu baru pulang ke rumah. Itu pada nginep di hutan, selama 24 jam nanti bergilir ada yang masuk ke dalam mahat batu. Terus nanti gantian sama yang lain dan yang di luar buat api unggun untuk menghangatkan badan orang yang habis dari dalam terowongan," ucapnya.
"Dulu jaman saya kecil kalau mau ke terowongan itu jauh sekali, kalau sekarang terlihat dekat, karena dulu itu hutan belantara belum ada hutan damar masih hutan alami. kalau sekarang kan jadi hutan produktif," lanjutnya.
Delapan orang tersebut diketahui berasal dari tiga desa sekitar Desa Kalisalak. Mereka tidak bekerja sendirian, tapi dibantu oleh sekitar 15 orang lain yang bergantian selama 24 jam. Bahkan delapan orang itu memiliki kemampuan sendiri sendiri, diantaranya ada yang bertanggungjawab, ada yang bagian mendesain terowongan hingga bagian metafisika yang memindahkan makhluk makhluk halus di sekitar lokasi terowongan.
Namun, berdasarkan cerita kakeknya tersebut, hal yang paling sulit dilakukan yakni ketika menembus batu alam yang ada di dalam terowongan. Dengan peralatan sederhana mereka menembus bebatuan andesit lereng Gunung Slamet.
"Titik paling sulit itu kalau pas ketika menemukan batu alam yang ada didalam tanah itu harus melewati itu, berati harus dialihkan, misal sudah pas ke arah sini tapi ada batu alam dan tidak bisa ditembus pakai pahat, karena hampir 50 persen batu semua, cuma bentuknya itu batu andesit itu bisa dipahat, tapi di bagian dalamnya lagi ada batu solid dan itu paling keras, yang itu tidak bisa dipahat itu, maka bergeser ke bawah atau menyamping, akhirnya ada cekungan di situ, harus penyelaman," jelasnya.
Dia mengucapkan syukur atas upaya kakeknya bersama kawan-kawannya saat itu, yang berupaya menembus perbukitan di lereng Gunung Slamet untuk mendapatkan air bersih. Kini enam desa di bawahnya tak aliran terowongan tersebut tak lagi kesulitan air.
"Alhamdulillah setelah ada aliran air, walau kemarau sampai 6 bulan, air tetap mengalir. Dulu padahal tadah hujan, pertanian, sawah tanam padi setahun sekali. Setelah air masuk, pertanian di masyarakat berubah drastis, bisa dua kali setahun dan produksi padi melimpah, termasuk bisa buat kolam kolam ikan," ujarnya.
Sementara menurut Tri Agus Triono, Ketua Paguyuban Pelestari Terowongan Air Tirtapala mengatakan jika pihaknya tengah melakukan pendokumentasian ulang terkait terowongan saluran air yang digagas di tahun 1949, dibuat tahun 1952, kemudian diselesaikan pada tahun 1956 itu. Dalam catatannya, terowongan itu dikerjakan oleh 8 orang yang salah satunya Sanbasri, sebagai penanggungjawab dari pekerjaan ini.
Lalu ada insinyur yang merancang terowongan itu bernama Tadirana. Dia yang mendesain terowongan sampai ada jendela dan segalanya.
"Jadi berdasarkan catatan yang sudah rusak, 1949 digagas oleh Sanbasri, dua tahun pertama masa negosiasi hingga akhirnya disetujui oleh pihak desa pada tahun 1952 dan dikerjakan sejak tahun 1952 hingga 1956. Selama 5 tahun dikerjakan secara manual, menggunakan alat penerangan teplok, ting dan obor, kemudian menggunakan alat tradisional seperti dandang lalu ruyung atau sada lanang, itu perkakas seperti linggis yang terbuat dari pelepah nira," kata Tri.
![]() |
Dalam arsip lama yang telah rusak tersebut, Sanbasri juga sempat mendapatkan penghargaan dari pemerintah sebagai perintis lingkungan. Namun seluruh dokumen tersebut harus direstorasi ulang setelah hampir 70 tahun tak terawat.
Dari dokumen yang ditemukan dan terowongan saluran air yang terjaga hingga saat ini, terdapat hal hebat yang dilakukan pada saat itu. Dimana desain terowongan tersebut terbilang cukup unik, dimana 550 meter terowongan tersebut dibuat mengikuti kontur gunung.
"Terowongan sempanjang 550 meter dibuat mengikuti kontur gunung, dan bebatuan andesit. Dijebol dari dua arah atas dan bawah, memang tidak masuk akal. Tetapi ada yang hebat lagi di sepanjang itu ada jendela-jendela yang berfungsi sebagai ventilasi terowongan, dan mereka sudah menghitung pada saat itu jelas ini untuk bernafas. Yang kedua adalah untuk membuang tanah dan bebatuan atau sedimen dari dalam terowongan, karena tidak mungkin akan dibuang diujung terowongan," urainya.
"Jendela-jendela itu ada yang 10 meter hingga 20 meter jaraknya melihat kontur dan tingkat kesulitan saat ada di dalam terowongan. Jadi si Tadirana ini sudah sangat menghitung itu," ujarnya.
Lalu, selama dua tahun pertama sejak 1948, mereka coba menghitung titik air yang sama dengan kontur Desa. Pasalnya ketinggian Curug Gomblang yang mengalir air dari Sungai Logawa tingginya tidak sama. Sehingga mereka berfikir agar air itu bisa sampai ke desa memanfaatkan air dari Sungai Logawa.
"Bagaimana mereka menemukan titik air yang sama dengan desa, saat itu belum ada GPS tapi mereka bisa menentukan titik airnya sampai ke desa. Titik airnya itu sekitar 400 meter di atas Curug, jadi langsung mengambil dari aliran Sungai Logawa. Karena kalau mengandalkan Curug tidak bisa, posisi elevasinya di bawah desa," ucapnya.
"Makanya kontur terowongannya tidak begitu curam tapi airnya mengalir, persis seperti irigasi. Landai tidak curam, itu hebatnya mereka menentukan titik awal sumber air sampai sama tinggi dengan sawah di desa," ungkapnya.
Selain itu, saat ini upaya yang tengah dilakukan untuk tetap menjaga terowongan saluran air adalah konservasi. Dimana saat ini tingkat sedimentasi di terowongan sudah sangat tinggi, sehingga mempengaruhi aliran air yang masuk ke desa.
"Dalam catatan lama itu ada gambar terowongan, dimana pintu air di ujung terowongan atau di hulu itu tingginya masih 170 cm dan sekarang kondisinya hanya paling 20-30 cm saja. Artinya di situ sedimentasinya sudah sangat tinggi, jika tetap dibiarkan, lama lama akan tertutup, karena sedimen sudah cukup tebal, maka pasokan air ke bawah semakin kurang," ujarnya.
Termasuk memasang pintu air di bagian hulu untuk mengatur debit air usai sedimentasi diangkat. Jika tidak menggunakan pintu air, maka akan sangat berbahaya bagi para perawat terowongan air ketika berada di dalam terowongan.
Selain melakukan restorasi dokumen terkait sejarah terowongan air dan konservasi, pihaknya juga tengah berupaya untuk mengembalikan kebiasaan warga lokal ketika itu.
"Jadi dulu semasa 8 orang ini masih ada, itu dibuat upacara atau nyadran wangan, jadi menyelamatkan saluran air. Biasanya nanggap lengger, nanggap wayang dan lainnya, ini akan coba kita bangkitkan lagi," ucapnya.
(aku/aku)