Di umur ke-108, pabrik kopi Margo Redjo Semarang mulai kembali dikenal karena historinya. Di masa kejayaannya, pabrik kopi tertua itu ternyata pernah menjadi pemasok kopi dunia bahkan tentara sekutu yang ketagihan sampai mengirimkan mesin kopi. Seperti apa kisahnya?
Sejumlah mesin roaster kopi masih tersimpan baik di rumah yang beralamat Jalan Wotgandul Barat No 14 Semarang. Mesin-mesin buatan Eropa itu seakan menjadi saksi masa kejayaan pabrik kopi Margo Redjo yang kini bernama Dharma Boutique Roastery.
Generasi ketiga pemilik pabrik kopi Margo Redjo, Widayat Basuki Dharmowiyono (78) masih menyimpan lima mesin tersebut dengan baik. Lima mesin itu disimpan di ruangan yang disebutnya sebagai museum.
Tiga mesin roastery itu merupakan buatan Jerman memiliki bentuk utama seperti bola berukuran besar. Satu mesin itu bisa memasak sekitar 60 kilogram biji kopi.
Dua lainnya adalah buatan Belanda berbentuk seperti tabung dengan ketinggian sekitar 2,5 meter. Mesin itu lebih modern dibandingkan buatan Jerman. Satu mesin berkapasitas 120 kilogram biji kopi.
Dua mesin buatan Belanda itulah yang digunakan saat masa kejayaan pabrik kopi Margo Redjo. Saat itu, untuk ekspornya saja, pabrik kopi Margo Redjo bisa mengirim sekitar 200 ton dalam satu tahun.
Bisa dikatakan tahun-tahun itu Margo Redjo menjadi pengekspor kopi terbesar di Indonesia. Puncak masa kejayaan itu berada di tahun 1929.
"Masa kejayaannya itu 1926, 1927, 1928 ketika sudah ekspor dan barangnya sudah diminati di luar negeri," ucap Basuki, Jumat (16/6/2023).
Sayangnya, di tahun itu juga terjadi Great Depresion, fenomena resesi besar hampir di seluruh dunia.
"Ekspor dari Hindia Belanda termasuk kopi ke negara-negara Eropa berkurang signifikan, termasuk dari Margo Redjo," ungkapnya.
Basuki menyebut, sejak 1930 penjualan kopi Margo Redjo terus menurun. Terlebih, 1941 terjadi Perang Asia Pasifik. Di tahun itu, pabrik kopi itu berpindah tangan ke paman dari Basuki.
Meski tak lagi menjadi pengekspor kopi, kopi buatan Margo Redjo ternyata masih diminati tentara sekutu. Basuki ingat dia pernah mendapat cerita Margo Redjo dipaksa menyuplai kopi untuk tentara sekutu yang kembali datang ke Indonesia pada 1946 setelah Jepang kalah dalam perang Asia Pasifik.
"Ketika itu, paman saya kan yang mimpin (Margo Redjo), setelah zaman Jepang mereka minta dipasok lagi dari sini," katanya.
Padahal, saat itu kondisi Indonesia juga tengah mengalami krisis listrik dan gas. Sehingga mesin yang dimiliki Margo Redjo tak bisa dijalankan.
Singkat cerita, tentara sekutu kemudian mendatangkan tiga mesin kopi dari Jerman. Mesin itu lebih jadul namun bisa digunakan ketika tak ada listrik dan gas.
"Itu digerakkan dengan mesin diesel kapal, dulu itu dipasang di belakang. Bakarnya pakai kayu itu kan masih kelihatan to tungkunya. Nah lambat laun mesinnya dimodif pengapiannya pakai minyak tanah, pakai kompor," jelas Basuki.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
(rih/ams)