Berbekal dari resep yang tertulis di kardus bekas, Chocky Cookies eksis sejak 2010. Toko kue kering itu pun kini kebanjiran pesanan menjelang Lebaran, pesanan meningkat hingga lima kali lipat.
Puluhan toples kue kering yang sudah dikemas secantik mungkin memenuhi etalase rumah produksi Chocky Cookies di Jalan Kurantil I, Kelurahan Krapyak, Kecamatan Semarang Barat. Usaha keluarga ini telah kebanjiran pesanan, terutama untuk nastar, kastengel, dan choco chips yang menjadi favorit pelanggan.
Pemilik usaha Chocky Cookie, Elisa Gultom, mengatakan sejak awal Ramadan, penjualan Chocky Cookies meningkat drastis, bahkan lima kali lipat dibandingkan hari biasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dibanding hari biasa, bisa naik lima kali lipat. Dari awal Ramadan, kita beli 50 kardus toples kecil dan 45 toples besar, per kardus isi 12. Itu sudah habis, dan masih beli-beli lagi untuk tambahan," kata Elisa di rumah produksinya, Kecamatan Semarang Barat, Kamis (27/3/2025).
![]() |
Dalam sehari, kata Elisa, dirinya bisa membuat hingga 20 toples besar kue kering pesanan para pembeli. Biasanya kue kering di tokonya itu jadi buah tangan warga ataupun perantau di Kota Semarang untuk mudik.
"Biasanya yang beli dari Pedurungan, Citarum, Tlogosari, ada juga Temanggung. Paling jauh pernah ada yang dari Belanda, karena punya saudara orang sini," jelasnya.
"Kalau di sini harganya Rp 35-75 ribu. Bedanya sama yang lain karena orisinalitas dan resepnya Mama yang udah dari tahun 1999. Biasanya pada repeat order karena mau nostalgia ngerasain rasa kue keringnya," lanjutnya.
Chocky Cookies sendiri bukanlah usaha yang baru berdiri. Sejak resmi buka pada 2010, kue kering ini telah menjadi pilihan banyak orang, khususnya di Semarang. Awalnya, usaha ini hanya melayani pesanan di lingkungan gereja dan teman-teman dekat. Namun, seiring berjalannya waktu, peminatnya terus bertambah.
"Dulu masih dari mulut ke mulut, belum pakai label atau promosi di media sosial. Tapi karena banyak yang suka, akhirnya kami mulai seriusin," kata Elisa.
Pada 2017, Chocky Cookies mulai lebih dikenal setelah memanfaatkan media sosial sebagai sarana pemasaran. Saat pandemi Covid-19, bisnis ini justru berkembang pesat karena banyak orang mencari hampers untuk dikirim ke keluarga yang tidak bisa mudik.
"Pandemi jadi batu loncatan kami. Banyak yang pesan untuk dikirim ke keluarga mereka, karena kan nggak bisa pergi-pergi, jadi dikirimkan kue. Dari situ, Chocky Cookies makin dikenal," tambahnya.
Salah satu alasan mengapa Chocky Cookies tetap bertahan selama lebih dari satu dekade, kata Elisa, yakni kualitas rasa yang terjaga. Resep kue ini berasal dari Mama Eti, ibu Elisa, yang sudah membuat kue sejak 1999.
"Kami masih pakai resep asli Mama, nggak ada yang berubah. Misalnya, kue kacang masih dibuat pakai kacang yang ditumbuk sendiri, dan selai nanas untuk nastar itu dibuat homemade dari nanas segar, olesannya juga pakai telur omega," jelas Elisa.
Bahkan, resep asli Chocky Cookies masih tersimpan di selembar kertas kardus tua yang hanya bisa dibaca oleh Mama Eti. Resep itu menjadi bukti peejuangan Mama Eti yang kini sudah menginjak usia 58 tahun, saat masih mencoba membuat resep yang sesuai.
"Resep dari nenek ya, terus Mama nyoba bikin, trial and error. Walaupun tiap hari bikin, tapi selalu lihat resepnya itu yang bisa lihat cuma Mama," ungkapnya.
Meskipun penjualan meningkat, Elisa mengakui ada tantangan tersendiri tahun ini, terutama dari kenaikan harga bahan baku seperti gula dan telur. Hal ini membuat harga nastar dan kastengel terpaksa naik dari Rp70.000 menjadi Rp75.000 per toples.
"Biasanya harga naik setiap dua tahun sekali. Soalnya harga toples naik dari Rp 37 ribu jadi Rp 45 ribu. Gula, tepung, telur juga naik. Telur dulu Rp 22-24 ribu sekarang Rp 29-31 ribu," ungkapnya.
Kini, meskipun bisnisnya terus berkembang, Elisa dan keluarganya tetap mempertahankan cara tradisional dalam membuat kue kering. Baginya, Chocky Cookies bukan hanya soal bisnis, tetapi juga warisan keluarga yang terus dijaga.
"Yang penting tetap menjaga kualitas dan rasa. Selama masih ada yang suka, kami akan terus membuat kue ini," tutupnya.
Dari dapur kecil di Semarang hingga menjadi favorit banyak orang setiap Lebaran, ia ingin membuktikan, usaha yang dimulai dari tradisi keluarga bisa terus berkembang dan bertahan di tengah persaingan.
"Kalau yang lebih enak mungkin banyak, tapi yang rasanya nggak berubah, punya ciri khas, ya ini. Orang jadi bisa nostalgia kalau makan ini," lanjutnya.
(rih/ams)