Dari hasil klarifikasi, Budhi menambahkan, pesanan bahan seragam itu meliputi seragam biru putih dua stel, seragam batik, seragam Pramuka, baju olahraga, dan jaket almamater. Selain itu, pihak POT mengaku mengambil Rp 40 ribu dari setiap pemesanan untuk biaya operasional.
"Kita analisis dulu, POT ini posisinya seperti apa. Kalau memang kemudian kita bisa menyimpulkan POT ini termasuk bisa dinterpretasikan sebagai komite, bisa kena. Karena yang dilarang (jual seragam sekolah) kan komite," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikonfirmasi terpisah, Ketua POT SMPN 2 Bantul Agung Gunawan mengaku tidak mempermasalahkan kedatangan ORI perwakilan DIY ke lokasi pengambilan pemesanan seragam.
"Ya kalau kita open (terbuka) saja ya. Apa yang sudah kita lakukan ini merupakan hasil diskusi dengan orang tua siswa, untuk pengadaan maupun penyediaan kain seragam itu kan menjadi kesepakatan bersama," kata Agung, Sabtu (16/7).
Agung mengatakan, pihaknya sama sekali tidak mewajibkan para orang tua peserta didik baru untuk memesan bahan seragam kepadanya. Di sisi lain, Agung menganggap pengadaan seragam dari POT untuk memudahkan orang tua murid mendapatkan seragam.
"Kalau mereka mau ambil monggo (silakan), kalau tidak ya monggo juga, prinsipnya seperti itu. Kita hanya membantu menyediakan. Wong ada yang tidak mau membeli karena sudah dapat lungsuran (bekas saudara atau teman) tidak apa-apa," ucapnya.
Menurut Agung, hal serupa ini telah berlangsung tiap tahun ajaran baru. "Ini juga hanya meneruskan yang sudah dilakukan pendahulu kita, tahun-tahun sebelumnya sudah melakukan pengadaan seperti ini," katanya.
Dia menambahkan, tidak ada hubungan antara POT dengan komite sekolah. Sebab, anggota komite sekolah sama sekali berbeda dengan anggota POT.
"Jadi kalau komite itu yang membawahi katakanlah badan di sekolah, mengikat toh. Tapi kalau POT paguyuban dari orang tua, jadi tidak ada hubungannya dengan sekolah. Jadi sudah di luar komite, murni orang tua dari siswa. Personel komite dan paguyuban juga beda," ujar Agung.
(dil/mbr)