LBH Pertanyakan Rehabilitasi Korban Korupsi IMB Eks Walkot Jogja

LBH Pertanyakan Rehabilitasi Korban Korupsi IMB Eks Walkot Jogja

Heri Susanto - detikJateng
Kamis, 09 Jun 2022 15:21 WIB
LBH Yogyakarta bersama gabungan masyarakat sipil Yogyakarta saat jumpa pers terkait kasus korupsi eks Walkot Jogja Haryadi Suyuti, Kamis (9/6/2022).
LBH Yogyakarta bersama gabungan masyarakat sipil Jogja saat jumpa pers terkait kasus korupsi eks Walkot Jogja Haryadi Suyuti, Kamis (9/6/2022). Foto: Heri Susanto/detikJateng
Yogyakarta -

Penetapan tersangka kasus perizinan hotel Wali Kota Jogja periode 2017-2022 Haryadi Suyuti berbuntut panjang. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta kini mempertanyakan tindak lanjut dari pembangunan apartemen dan hotel di Kota Jogja yang kedapatan ada aroma korupsi.

"Harus kita sadari selama korupsi yang dilakukan oleh pejabat itu banyak korban-korban dan itu terampas haknya. Kemudian banyak juga korban-korban yang itu juga tidak mendapatkan akses hak-haknya," kata Direktur LBH Yogyakarta Julian Dwi Prasetya, saat pers rilis bersama gabungan masyarakat sipil Jogja, di Kantor LBH Jogja, Kamis (9/6/2022).

Julian mengungkapkan, pihaknya mendesak Pemkot Jogja maupun Pemerintah Daerah (Pemda) DIY untuk mengembalikan hak-hak korban kebijakan dari Haryadi Suyuti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya kira kita perlu pikirkan juga bagaimana kita melakukan rehabilitasi maupun memberikan hak restitusi kepada korban-korban yang itu menjadi korban kebijakan dari Haryadi Suyuti sebagai tersangka," katanya.

Julian menyebut pengusutan korupsi kasus perizinan hotel dan apartemen di Jogja ini tak cukup dengan menangkap dan menghukum pelakunya. Tapi, juga hak-hak korban harus dikembalikan.

ADVERTISEMENT

"Saya kira tidak cukup kita warga masyarakat hanya bicara ayo kita cari pelakunya. Tapi ayo kita kembalikan hak-hak korban termasuk orang-orang yang hari ini tidak mendapatkan akses matahari mungkin, tidak mendapat akses air," jelasnya.

"Misalnya beberapa hotel memberikan suap sekarang akses airnya mau gimana? Apa mau kita robohin hotelnya atau gimana? Kan itu yang perlu dipikirkan gimana? Apa izinnya mau dijabut atau gimana, apakah hanya cukup ditangkap, saya kira tidak cukup sampai di situ. Sehingga kekuatan masyarakat sipil itu menjadi penting," jelasnya.

Peneliti dari Pukat UGM Zaenur Rahman menambahkan, bagi hotel dan apartemen yang sudah mengantongi izin tapi ternyata ada tindak korupsi, masih bisa dibatalkan. Dia mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Negara.

"Jadi kalau di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 lupa pasalnya, itu satu keputusan tata usaha negara itu bisa dibatalkan ketika proses atau substansinya itu mengandung cacat. Salah satu bentuk cacat itu adalah ketika perizinan sebagai bentuk keputusan tata usaha negara itu diperoleh melalui suap atau gratifikasi," kata Zaenur.

"Sehingga nanti kalau misalnya terbukti satu perizinan itu bisa keluar karena adanya suap maka harus dibatalkan," jelasnya.

Dengan pembatalan tersebut, maka izin hotel atau apartemen itu dianggap tidak ada. Sehingga meski hotel atau apartemen itu sudah beroperasi maka bisa dihentikan.

"Ketika dibatalkan maka sejak awal perizinan itu dimohonkan dianggap tidak ada. Ini bahkan yang sudah beroperasi pun itu dianggap tidak ada. Sebagai konsekuensinya operasinya harus dihentikan kalau sudah terbukti ada suap atau gratifikasi di dalam permohonan izin tersebut dan sudah inkrah," katanya.

Berikutnya PUKAT UGM usul pembatalan fisik hotel atau apartemen yang beraroma korupsi...

Usai pembatalan izin itu, kata dia, pemerintah daerah harus menindaklanjuti dengan pembatalan fisik. Pembatalan fisik ini dilakukan usai putusan pengadilan menyatakan ada kasus suap atau gratifikasi dalam proses perizinannya.

"Itu nanti harus ditindaklanjuti di prosedur administrasi pemerintahan kemudian secara administratif. Kemudian pemerintah daerah harus menindaklanjuti dengan melakukan pembatalan fisik, itu nanti setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa memang ada kasus suap atau gratifikasi di dalam proses perizinan tersebut," katanya.

Untuk diketahui, dalam kasus ini KPK menetapkan Haryadi Suyuti sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan izin apartemen di Jogja. Selain Haryadi, KPK juga menetapkan Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Jogja Nurwidhihartana, sekretaris sekaligus ajudan Haryadi Triyanto Budi Yuwono, serta Vice President Real Estate PT SA Tbk (Summarecon Agung) Oon Nusihono selaku pemberi suap sebagai tersangka.

Oon sebagai tersangka pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Lalu, ketiga tersangka penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Saat penangkapan Haryadi dkk, KPK juga mengamankan sejumlah uang dalam pecahan dolar AS sebagai barang bukti. Total senilai USD 27.258.

Halaman 2 dari 2
(ams/rih)


Hide Ads