Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Wilayah DIY, mendesak penggunaan kata 'klithih' untuk mengistilahkan kejahatan atau kriminal jalanan segera diakhiri. Salah kaprah penggunaan istilah tersebut dinilai berpotensi bisa merusak arti akta yang sebenarnya.
Dalam tayangan yang dibuat IPK DIY disebutkan telah terjadi salah kaprah dalam penggunaan istilah klithih untuk menamai aksi kekerasan di jalan. Disebutkan bahwa salah kaprah kesalahan yang terjadi karena kebiasaan dengan sesuatu yang salah dan dibiarkan terus berjalan tanpa usaha perbaikan pemakaianya.
"Ada baiknya dimulai dari kita untuk melakukan usaha perbaikan mengembalikan pada arti sebenarnya," demikian imbauan PIK DIY yang dibenarkan oleh ketuanya Rifqoh Ihdayati, Rabu (6/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disebutkan bahwa 'klithih' atau 'klithihan' atau 'nglithih' adalah kosa kata dari bahasa Jawa bergaya Yogyakarta yang mempunyai arti jalan-jalan bareng melepas penat, sekedar cari angin atau nongkrong ngobrol santau tanpa ada tujuan.
"Murni untuk mengisi waktu luang mengembalikan energi positif. Tidak ada sama sekali muatan yang bertujuan negatifbahkan sampai melukai atau merugikan orang lain," demikian disampaikan IPK DIY.
"Sebagai warga yang cinta Jogja, mari bersama kita gunakan istilah yang tepat jika tindakan oleh seseorang atau kelompok orang bertujuan melukai orang lain itu adalah murni kejahatan jalanan, bukan klithih," demikian IPK DIY.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan detikcom pada 30 Desember 2021, Dosen Sastra Nusantara FIB UGM Sri Ratna Saktimulya mengatakan awalnya klithih tidak memiliki makna negatif. Klithih, kata Saktimulya, memiliki arti jalan-jalan karena penat, sekadar mencari udara segar. Arti kata itu bisa ditemukan di kamus Bahasa Jawa.
"Menurut kamus Bahasa Jawa, arti kata 'klithih-klithih atau klithihan' adalah 'tansah mlaku wira-wiri semu nggegoleki' (berjalan mondar-mandir mencari sesuatu tanpa arah)," kata Saktimulya.
Senada dengan Saktimulya, dosen Sastra Nusantara FIB UGM lainnya, Djarot Heru Santosa, menjelaskan klithih memiliki arti yang hampir sama. Hanya saja Djarot menyebut kegiatan klithih spesifik dilakukan saat malam hari.
"Biasanya dilakukan waktu malam. Arti kata itu bisa ditemukan dalam Kamus Baoesastra Djawa karya Poerwadarminta tahun 1939," kata Djarot.
Ia menjelaskan, keluyuran dalam arti klithih pada masa dulu hanya untuk nongkrong, jajan di warung, atau sekadar lihat-lihat suasana malam saja. Jadi, kata Djarot, masih dalam arti positif.
"Satu keunikan lain, istilah ini (klithih) populernya dalam bahasa Jawa khususnya ragam Yogyakartan," jelasnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, kata klithih kemudian mengalami pergeseran makna. Sebab, saat ini klithih yang dilakukan oleh remaja, pada umumnya, bukan hanya sekadar berjalan-jalan saat malam. Tapi kemudian menjurus ke hal-hal kriminal.
"Sebabnya, ketika keluyuran itu dilakukan oleh para remaja yang sedang senang-senangnya masa menarik perhatian orang lain, dilakukan dengan cara-cara negatif, seperti membacok atau mencelakai orang tanpa sebab. Jadi bergeser makna keluyuran (klithih) itu," tutupnya.
(mbr/sip)