Kegiatan mengaji di Malioboro pada Minggu (27/3) lalu viral di media sosial dan menimbulkan pro dan kontra. Para akademisi pun menyoroti kegiatan membaca Al-Qur'an di Malioboro yang digelar oleh Badan Wakaf Al-Qur'an (BWA) Jogja.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Phil Al Makin yang juga merupakan pakar sosiologi agama Indonesia menyayangkan hal itu. Ia menilai harusnya tidak ada dominasi di ruang publik yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
"Saya kira dalam beberapa tulisan sudah pernah saya singgung soal ruang publik dan agama. Itu perlu diatur. Artinya jangan sampai ada dominasi ruang publik sehingga ada semacam dominasi dari warna tertentu sehingga tidak terjadi dialog di ruang publik," kata Al Makin saat dihubungi wartawan, Jumat (1/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, masalah agama di negara muslim pun itu ada regulasi yang jelas. Namun, di Indonesia cenderung belum ada regulasi yang jelas dan sistemnya sangat bebas.
Ia mencontohkan, pada saat ini siapapun bisa berceramah dan mengunggahnya di media sosial. Hal itu terlepas dari kemampuannya dalam berceramah dan itu juga sering menimbulkan kontroversi.
"Dan juga ruang publik, ruang publik ini saya kira tidak fair lah kalau sedikit-sedikit dibawa ke warna tertentu, sedikit-sedikit sepertinya semi dipaksakan. Saya kira nggak bijaklah. Ruang publik ini harus netral," jelasnya.
"Apalagi lagi kalau kita tengok agama lain yang lemah minor ini sangat sulit sekali mendapatkan ruang, seperti gereja-gereja kecil, masjid seperti Ahmadiyah, syiah, ini kan sulit sekali mendapatkan ruang. Sementara ini kan masjid sudah ada dimana-mana ini," imbuhnya.
Ia menyayangkan tindakan yang terkesan merebut banyak ruang. Sementara di lokasi itu merupakan ruang publik yang digunakan bukan hanya untuk satu golongan.
"Iya menyayangkan lah, untuk apa merebut banyak ruang. Ini kan kita sebagai muslim sudah mayoritas. Kita apa yang tidak kita punya gitu, hak politik kita sudah penuh hampir semua partai politik ini menyuarakan hal yang sama. Semua media sudah penuh juga dengan kita, semua lembaga kita punya, ekonomi, politik, sosial, kok masih (merebut ruang)," ucapnya.
Menurutnya saat ini lebih baik melakukan konsolidasi umat. Sebab, menurut Al Makin, banyak isu yang jauh lebih penting daripada sekadar benturan identitas seperti ini.
Selain itu, ia khawatir jika nantinya bakal ada benturan. Bukan hanya antara mayoritas dengan minoritas namun benturan itu terjadi antar sesama muslim.
"Di dalam islam sendiri kan ada banyak, ada banyak organisasi, ada banyak kelompok, ada banyak pilihan politik, ada banyak organisasi sosial dan keagamaan. Jadi yang khawatir itu malah pertama di dalam itu sendiri, tidak semuanya sepakat itu dengan yang terjadi di Malioboro kemarin itu," tegasnya.
Dia lantas menyarankan agar pemerintah bisa tegas dan membuat regulasi yang jelas. Agar meminimalkan benturan antargolongan.
"Pemerintah harus memikirkan ulang itu relasi antara agama-ruang publik, agama-fasilitas umum, itu harus ada regulasi yang jelas," sebutnya.
Sementara itu, Dosen Departemen Sosiologi Fisipol UGM Hakimul Ikhwan juga punya pandangan soal hal tersebut. Secara legal formal ia menilai tidak ada yang dilanggar. Hanya yang jadi soal adalah lokasi yang digunakan untuk mengaji yakni di Malioboro. Menurutnya, Malioboro punya makna kultural dan historis.
"Kalau saya sebetulnya begini, kalau kita berpikir legal formal tentu itu kan tidak ada yang dilanggar. Cuma karena ini Malioboro dan Malioboro itu kan punya makna budaya sendiri," kata Hakim saat dihubungi wartawan hari ini.
Ia menilai, respon masyarakat itu timbul bukan karena soal mengajinya. Namun, karena lokasinya di Malioboronya.
"Ya karena tadi karena Malioboro itu simbol kultural, keberagaman, simbol ya bukan agama lah kira-kira begitu," tegasnya.
Akan tetapi, merespon kegiatan itu dengan melarang ngaji juga tidak tepat. Justru dengan adanya hal ini Malioboro bisa menjadi ruang yang bisa digunakan semua golongan.
"Justru kita ingin agar Malioboro itu milik kita bersama, terbuka ini justru menjadi momentum untuk kelompok yang lainnya yang ingin berkegiatan seharusnya diberi ruang juga dan mari kita manfaatkan ruang itu bersama-sama," tambahnya.
Sama halnya dengan Prof Al Makin, Hakimul juga meminta agar pemerintah memberikan regulasi yang jelas.
"(Malioboro bisa digunakan) semua agama etnis budaya, nah tinggal nanti peran pemerintah mengatur. Memang pemerintah itu fasilitator sekaligus regulator tetapi regulatornya itu semakin kecil ya perannya. Berikutnya PR selanjutnya ada di pemerintah," katanya.
(ahr/sip)