Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang kasus aksi demo May Day berujung ricuh di Semarang, Supinto Priyono, menanggapi eksepsi atau nota keberatan yang diajukan pengacara empat terdakwa. Jaksa kemudian meminta majelis hakim menolak seluruh eksepsi tersebut.
Hal tersebut dikatakan jaksa Supinto dalam sidang dengan terdakwa para mahasiswa yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kota Semarang, hari ini. Ia membacakan tanggapan terhadap eksepsi yang diajukan pengacara terdakwa Afrizal Noor Hysam, M Akmal Sajid, Afta Dhiaulhaq Al Fahis, dan Kemal Maulana.
Jaksa menegaskan bahwa surat dakwaan yang disusun sudah sah, lengkap, dan memenuhi syarat formil maupun materiil sebagaimana diatur KUHAP.
"Dakwaan disusun dengan bahasa Indonesia yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga mudah dimengerti," kata Supinto di PN Semarang, Senin (25/7/2025).
Disampaikan pula bahwa unsur-unsur tindak pidana sudah dirumuskan secara jelas, lengkap, dan runtut. Ia pun menilai keberatan yang disampaikan tim pengacara sudah masuk ke pokok perkara, padahal eksepsi seharusnya hanya menyinggung aspek formil dari surat dakwaan.
"Mempertanyakan secara runtut bagaimana ketiga orang bawa ke polisi bisa terluka, apakah cukup dari lemparan oleh para saksi. Padahal materi ini sudah termasuk dalam materi pokok yang nantinya diuji di depan persidangan," ujarnya.
Sementara terkait catatan pelanggaran hukum dalam penangkapan seperti penangkapan tidak sesuai prosedur yang jelas, kekerasan dalam penangkapan, penolakan visum, pemeriksaan yang disebut di bawah tekanan, penahanan tanpa status hukum yang jelas, hingga pelanggaran HAM dan tindakan sewenang-wenang oleh kepolisian, jaksa memilih tak menanggapinya.
"Keberatan terhadap syarat-syarat pelanggaran hukum dalam penangkapan, penetapan tersangka, seharusnya tim penasihat hukum terdakwa menempuh jalur hukum dengan dilakukannya keputusan pra-peradilan, bukan disampaikan dalam materi eksepsi ini," ucapnya.
Dalam kesimpulannya, jaksa meminta majelis hakim menolak seluruh eksepsi tim kuasa hukum dan melanjutkan pemeriksaan perkara.
"Kami selaku penuntut umum memohon kepada majelis hakim yang memahami dan mengadili perkara ini supaya menolak seluruh keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa 1 sampai dengan 4 untuk seluruhnya," kata Supinto.
Sementara itu tim pengacara keempat mahasiswa, Kahar, menilai sebaliknya. Ia menyebut dakwaan jaksa kabur dan tidak cermat karena tidak menjelaskan perbuatan apa yang dilakukan para terdakwa.
"Hanya disebut 'merusak', tapi bagaimana cara merusaknya, bagian mana yang rusak, tanaman apa yang rusak, tidak dijelaskan," kata Kahar seusai persidangan.
"Dakwaan tidak jelas ini sangat berbahaya. Semua orang bisa didakwa dengan dakwaan yang tidak jelas, yang obscuur libel ini. Bahaya bagi hak asasi manusia," lanjutnya.
Menurut Kahar, surat dakwaan yang tidak jelas waktu, tempat, dan perbuatannya berpotensi menjerat siapa saja tanpa bukti konkret. Dia bilang, jika nanti hakim mendasarkan putusan pada dakwaan itu, maka semua orang bisa didakwa dengan cara seperti itu.
Terkait jaksa yang tak menanggapi dugaan pelanggaran prosedur penangkapan hingga dugaan penyiksaan terhadap mahasiswa, Kahar mengaku pihaknya tetap akan bersurat ke Komnas HAM, Kompolnas, hingga Komisi Yudisial untuk mengawal jalannya persidangan.
"Kita minta Komisi Yudisial ikut mengawasi agar hakim independen dan tidak berat sebelah. Karena yang disebut korban dalam perkara ini kan negara juga, baik kepolisian maupun dinas terkait. Jadi harus benar-benar adil," imbuhnya.
Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang, Bagas Budi Sanstoso turut mengungkapkan bahwa para terdakwa sempat mengalami penyiksaan saat proses penyidikan kepolisian.
"Mereka dipiting, dipukul di wajah dan perut, ditendang, diinjak, diseret, hingga dipaksa berdiri dengan satu kaki sambil memegang kardus air mineral," kata Bagas.
"Beberapa di antaranya bahkan muntah darah, hidung berdarah, dan mengalami luka di punggung serta kaki," lanjutnya.
Bagas juga menyebut saat terdakwa meminta visum, penyidik justru menolak. Dia bilang hal itu melanggar KUHAP, konstitusi, hingga hukum internasional.
LBH Semarang juga menilai kasus ini bukan murni tindak pidana, melainkan bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat dan berkumpul.
"Ini jelas merupakan bentuk SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), penggunaan mekanisme peradilan untuk menekan, mengintimidasi, dan menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap mengganggu agar tidak lagi menggunakan hak-hak demokratisnya," ucap Bagas.
"Alih-alih menjamin hak kebebasan berpendapat dan berkumpul, negara justru memperlakukan mahasiswa sebagai musuh yang harus dibungkam," sambungnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
(dil/ahr)